BAB 5

484 51 0
                                    

Noah langsung menyusul ke arah sahabatnya begitu ia melihat pria dengan blazer caramel itu keluar dari kamar hotelnya. "Mau kemana, Alden?"

Alden membalikkan tubuhnya, lalu tersenyum. "Ke pameran. Aku dapat informasi ada pameran Basquiat di Brooklyn. Want to come?" Jawab Alden serak tanpa menurunkan maskernya.

Noah tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "Apa tidak sebaiknya kamu istirahat saja?" Noah mencoba untuk menyarankan Alden, ia tahu sahabatnya itu tidak merasa begitu sehat beberapa hari terakhir.

"Tidak mungkin aku melewatkan event ini, Noah. Kau sudah tahu, kan?" Mereka berdua tertawa sebentar.

"Baiklah. Aku akan pergi bersamamu kalau begitu," ujar Noah sambil mengangguk-anggukan kepalanya puas. Setidaknya ia ada di sisi Alden kalau-kalau terjadi sesuatu pada pria yang tak bisa diam itu.

Alden menatap sahabatnya bingung. Pameran bukan hal favorit seorang Noah. Ia takut sahabat sekaligus kerabat kerjanya itu akan merasa bosan.

"Kamu yakin? Kalau nanti kamu bosan, bukan tanggung jawabku ya," ucap Alden, setengah berteriak. Sementara Noah, seakan tak mendengar perkataan Alden sudah berjalan mendahuluinya.

Tidak, Noah tidak menemani Alden tanpa alasan. Noah paham sekali ada seorang wanita yang sedang menunggu foto terbaru dari suaminya itu.

For Noah, Alden is his angel. Terdengar berlebihan memang, tapi begitu kenyataannya. Sebelum bergabung dengan Ashwood, ia dan Alden berkuliah di Goldsmiths University of London, universitas yang sama dengan Elle. Noah yang sedikit pemalu, tidak bisa mendapatkan teman secepat mahasiswa lainnya.

Entah bagaimana, Alden yang juga mengambil jurusan musik, dengan tulus mendekatinya lebih dulu. Tidak hanya itu, Alden juga tak sungkan untuk mengenalkan serta membawa Noah ke dalam circle pertemanannya sendiri.

__

Noah diam-diam tersenyum saat ia memperhatikan Alden. Pria itu terlihat sangat bahagia saat ini. Ketertarikan seorang Alden terhadap seni memang tidak perlu diragukan lagi. Tapi bagi Noah ketika Alden sedang menikmati waktunya untuk mengagumi karya seni membuatnya terlihat sangat polos.

Alden selalu berusaha tampil dewasa, padahal Noah selalu bisa menemukan bagian dari diri Alden yang menyerupai sosok anak kecil. Sahabatnya itu terkadang masih membutuhkan figur yang mampu mendampinginya atau membimbingnya. Setiap memikirkan hal ini, Noah merasa bersyukur karena Alden memiliki Elle dihidupnya.

"Shall I take your pictures, Buddy?" Tanya Noah. Alden yang sedang mengamati lukisan di hadapannya itu langsung menoleh ke arah Noah di sampingnya.

Alden mengangguk cepat. "Sure, please." Noah terkekeh kecil melihatnya, kemudian segera mengarahkan kamera ponselnya pada Alden dan memotret pria tersebut beberapa kali.

"Bagaimana? Kau suka?" Noah mendekati Alden, sambil memperlihatkan beberapa hasil potretnya di ponsel.

Alden tersenyum puas. "They're nice. Terima kasih, Noah." Noah mengangguk sambil mengacungkan jempolnya riang.

"Kamu mau juga? Outfit-mu terlihat keren saat ini," tawar Alden. Dan tentu saja Noah menolak.

"Tidak, tidak. Entah kenapa aku sedang tak ingin difoto," jawab Noah tenang.

Alden menyipitkan matanya protes. "Sombong sekali anda, Tuan." Noah hanya mengedikkan bahunya cuek. Keduanya tertawa bersama.

"Aku ke bagian sana ya? Telepon saja kalau kamu sudah selesai," ujar Noah pelan. Alden menganggukan kepalanya sambil tersenyum.

__

Alden teringat dengan istrinya. Sama seperti dirinya, Elle juga senang untuk menikmati waktunya di pameran seni seperti ini. Hanya saja, dalam urusan foto perempuan itu serupa dengan Noah. Elle tidak terlalu suka untuk di potret.

Pria itu lalu mengeluarkan ponselnya dan mulai mengarahkan kamera depan pada wajahnya. Ia terbatuk sebentar, kemudian mencari angle yang tepat untuk memotret dirinya. Setelah berhasil, ia memeriksa hasil fotonya dan langsung mengirimkannya kepada Elle.

__

Elle tersenyum getir saat melihat swafoto suaminya. Alden tetap tampan tentu saja, tapi ia terlihat sedikit lelah dan pucat. Perempuan itu mengira Alden akan menghabiskan sisa waktunya di New York City untuk beristirahat dan memulihkan kesehatannya. Dugaan yang mustahil bagi seorang Alden Arslan yang tak pernah tahan untuk berdiam diri.

__

Layla dengan cepat berjalan ke arah pintu rumahnya begitu mendengar suara bel, putranya pulang. Saat ini sudah pukul 2 pagi di London. Sebelumnya Elle bersikeras untuk menunggu Alden pulang, tapi ternyata perempuan itu tertidur. Alden pernah memberi tahu ibunya, Elle sangat mudah untuk terlelap. Bagi Layla itu sangat lucu, karena semua anak-anaknya memiliki kebiasaan yang sama, termasuk Alden sendiri.

"Halo, Sayang. Oh, I miss you so much." Wanita paruh baya yang masih terlihat menawan itu langsung memeluk putra sulungnya dengan hangat.

Alden tertawa kecil, seraya mengusap punggung sang ibu. "I miss you too, Mom. Maaf ya aku mengganggu waktu istirahat Mama," ucap Alden lembut.

Layla melepas pelukannya perlahan, lalu menyentuh pipi Alden. "Tidak masalah, Alden. Ya Tuhan, kenapa kamu semakin tirus, Bear? Pipi roti kesukaan Mama hilang." Layla menatap putranya sedih.

Alden terbatuk, entah kenapa batuknya itu belum pergi juga. "Mungkin karena Alden banyak berkeringat jadi mereka menghilang, Ma. Please, don't be sad. Percayalah dalam 5 hari pipi roti kesukaan Mama akan kembali." Mereka tertawa bersama. Kemudian sepasang ibu dan anak itu masuk ke dalam rumah.

Alden mendorong suitcase coklatnya perlahan. Ia tau Elle-nya pasti sudah terlelap di kamar. "Kamu sudah makan, Alden?" tanya Layla yang berjalan disamping Alden.

"Sudah, Ma. Mama sudah makan?" Wanita itu mengangguk sambil tersenyum.

"Sebaiknya kamu istirahat, Sayang. Mama ke kamar ya." Alden mengiyakan lalu mencium tangan sang ibu sebelum wanita itu berlalu.

__

Alden berjalan mendekati Elle perlahan. Dibelainya pipi perempuan itu lembut, ia tersenyum memandangi istri yang sangat ia rindukan itu. Kemudian pria itu segera melepas coat dan kaos kakinya, lalu mengganti bawahannya dengan grey sweatpants. Setelah mematikan lampu kamarnya, Alden langsung bergegas ke ranjang tidur. Dikecupnya pelipis Elle perlahan sambil membenarkan letak selimut di tubuh sang istri. 

Best BelovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang