Malam setelah kedatangan Alden di rumah sementara Noah, pria itu sakit. Tentu saja tubuhnya akan tumbang setelah melewati gaya hidup yang tidak karuan selama seminggu terakhir, belum lagi beban pikiran yang dialaminya.
Alden sudah menyiapkan semangkuk butternut squash soup yang ia dapatkan semampunya, tapi demam Noah yang cukup tinggi membuat pria itu tak sadar. Sudah satu jam terakhir Alden hanya bisa mendengar racauan tak jelas dari sahabatnya. Alden berusaha mengompres kening Noah, seperti apa yang Elle biasa lakukan padanya saat demam. Oh, apa yang sedang Elle lakukan saat ini? Alden mencoba mengembalikan pikirannya ketika mendengar erangan kecil Noah.
"Noah? Hei, apa kamu bisa mendengarku?" Alden mencoba menyentuh lengan pria yang berbaring di hadapannya pelan.
Noah tidak merespon. Wajah pria itu penuh dengan keringat, sesekali ia mengerutkan alisnya.
Alden mulai merasa bingung. "Noah, apa kamu bisa bangun sebentar? Kamu harus makan, setelah itu minum obatmu." Suaranya mulai terdengar panik. Ia tidak tahu apa yang harus ia perbuat untuk membantu Noah.
"..."
Tepat ketika panik menghampiri Alden, Layla menghubunginya. Thank God, pikirnya. Dengan cepat ia meraih ponsel di atas nakas tempat tidur Noah.
"Ma, tolong aku," ucap Alden dengan gelisah.
Layla tahu sesuatu akan terjadi. Setelah Alden terakhir mengabarinya tentang hubungan Noah dan Isla, wanita itu tahu semuanya tak akan berjalan dengan mudah. "Hei, tenang, Alden. Ada apa? Bagaimana dengan Noah?"
Alden mencoba untuk menenangkan dirinya sebentar. "Noah sakit. Ma, aku tidak begitu yakin aku bisa menolongnya. Apa Mama bisa membantuku?" Pria itu mengalihkan pandangannya pada Noah, memastikan keadaan sahabatnya, masih sama."
"Tentu saja, Bear. Mama akan tiba di sana, secepatnya. Kirimkan alamat lengkapnya pada Mama." Layla langsung bergerak menyiapkan barangnya. Wanita itu menyayangi Noah seperti Alden menyayangi sahabatnya. Ia tahu orang tua Noah tidak tinggal di England, dan hanya dirinya yang bisa diandalkan di saat seperti ini.
"Terima kasih, Ma. Hati-hati, ya."
"Tentu, Alden. Stay in touch, alright?"
"Of course."
__
Sudah lebih dari 24 jam sejak Elle mengirim chat pada Alden, tapi suaminya itu belum membalas juga. Yang ia tahu, Alden sedang tidak bekerja tapi tetap sibuk mengurusi sahabat yang sangat ia pedulikan itu. Ya Tuhan, aku terdengar sinis sekarang, batin Elle.
Bukannya Elle tak mau berinisiatif untuk menelpon suaminya lebih dulu, hanya saja terakhir kali ia melakukan hal itu Alden dengan cepat menyudahi sambungan telepon mereka. Elle mungkin selalu berusaha untuk mengerti, tapi ia tetap manusia biasa, seorang istri yang berada jauh dari suaminya dan membutuhkan atensi penuh pria itu.
Catra tengah berdiskusi dengan Vincent Pullin mengenai proyek mereka, mewakili Elle yang sepanjang hari terlihat tidak fokus dan ia memutuskan untuk mengambil alih. Perempuan yang merupakan Project Communication Coordinator dari Being Human Festival itu hanya bisa mencatat beberapa poin penting hasil diskusi mereka siang itu, sementara Catra yang menyampaikan beberapa ide baru atau merespon opsi lain dari Vincent.
Seusai meeting, Catra memperhatikan wanita di sampingnya. "Elle, kamu sakit?" Elle yang sedang memeriksa beberapa berkas di genggamannya tersenyum tipis mendengar pertanyaan tersebut, "apa aku terlihat sakit?"
Catra menggeleng, "tidak. Hanya sedikit tak bersemangat. Aku kira akan ada banyak hal yang ingin kamu sampaikan pada Mr. Pullin tadi." Elle tersenyum getir. Perempuan yang sudah Catra kenal dengan baik itu tentu saja tak bisa menutupi sesuatu darinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Best Beloved
Romance"You are the best that I've ever had, Grizelle." Alden mencium kening perempuan di dekapannya dalam. Ia tak akan pernah bosan memberi tahu Elle betapa ia mencintai istrinya itu. Elle mengeratkan pelukannya setelah Alden selesai mengecup keningnya...