Hari ketiga libur, rasa bosan akhirnya datang juga. Elle sudah berusaha mengusir rasa sepi dengan menghadiri seminar, mendatangi museum, menonton bioskop, sampai caught up dengan beberapa teman terdekatnya. Tapi tetap saja liburannya terasa kosong.
Elle tidak suka mengeluh, apalagi mengeluh kepada Alden. Suaminya itu selalu berusaha untuk menghubunginya ditengah-tengah jadwal yang padat. Bahkan Alden masih mencoba menyempatkan waktu untuk melakukan FaceTime dengannya.
Ashwood, band suaminya itu memang sedang berada di masa kejayaannya. Elle teringat dulu sebelum pernikahannya dengan Alden, suaminya itu pernah menanyakan pendapatnya jika ia memutuskan untuk menarik diri dari grup band yang telah membesarkan namanya itu.
Alden mengatakan jika ia bisa melanjutkan karirnya sebagai seorang musisi solo atau seorang komposer. Elle langsung menolak, selama keputusan itu adalah pilihan yang terbaik menurut Alden pasti Elle akan berusaha mendukungnya. Elle juga selalu tahu seberapa besar rasa sayang Alden baik untuk Ashwood dan para anggotanya. Mereka berdua memiliki komitmen untuk selalu berusaha mendukung tujuan satu sama lain.
Sepanjang setahun perkawinannya, tidak mudah tentunya bagi Elle untuk membiasakan diri dan berusaha mengerti akan karir sang suami. Namun, beberapa bulan belakangan adalah saat-saat yang cukup berat untuk Elle juga Alden dalam menjaga rumah tangga mereka. Elle yang harus sabar dan mengalah, sementara di sisi lain ada Alden yang selalu berusaha untuk mempertahankan komunikasi dengan istri tercintanya.
Bukan sekali dua kali ide untuk terbang ke New York muncul di kepala Elle. Tapi setiap kali ia ingin membicarakan idenya tersebut, akan muncul perasaan tidak enak. Bagaimana tidak, suaminya itu pasti menghubunginya saat larut malam atau terdengar seperti sedang dikejar-kejar anjing liar.
Elle tentu saja memakluminya. Ia paham dengan baik perjuangan Alden untuk bisa menghubunginya, walaupun kadang sekedar bertanya apa kegiatan yang sedang dilakukannya atau menu makanannya di hari itu.
Saat bertatap muka di video call pun Alden akan muncul dengan kantong matanya yang menghitam, menguap berulang kali, suara yang serak, bahkan tak jarang sampai tertidur.
Elle mengusap keringatnya begitu selesai menutup kardus besar di hadapannya. Kardus berisi pakaian yang sudah tidak terpakai itu nantinya akan ia kirimkan ke sebuah clothing bank.
Ternyata banyak juga kegiatan yang bisa diselesaikan saat libur begini, pikir perempuan cantik itu seraya mengikatkan tali di kardus, kemudian terdengar nada panggilan masuk di ponselnya.
Elle segera meraih ponsel di atas meja lalu tersenyum senang, "Halo, Alden." Suara Elle terdengar cukup ceria, tapi itu justru membuat Alden merasa bersalah. Sudah hampir 24 jam ia baru bisa menghubungi wanita itu.
Alden ikut tersenyum begitu mendengar suara sang istri. "Halo, Sayang. Maaf ya aku baru bisa telfon."
"It doesn't matter, aku mengerti. Sudah sampai kamar?"
Alden berdeham sebentar, "iya, aku sudah dikamar. Kamu sedang apa?" Elle mengerutkan alisnya, suara serak suaminya itu masih belum sembuh juga. Bagaimana bisa sembuh kalau setiap hari suara Alden harus digunakan dengan waktu dan energi yang cukup besar. Oh, jangan lupakan juga soal Alden Arslan yang belakangan ini mulai merokok walaupun itu melalui sebuah rokok elektrik, juul pod.
"Baru selesai mengemas baju yang sudah tidak kupakai lagi. Kamu sudah minum obat hisapnya?" tanya Elle.
"Wah, istriku rajin sekali. Sudah, aku juga minum air hangat setiap hari dan tentu saja makan buah-buahan." Elle tertawa. Suaminya terdengar seperti anak kecil yang takut diomeli sang ibu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Best Beloved
Romance"You are the best that I've ever had, Grizelle." Alden mencium kening perempuan di dekapannya dalam. Ia tak akan pernah bosan memberi tahu Elle betapa ia mencintai istrinya itu. Elle mengeratkan pelukannya setelah Alden selesai mengecup keningnya...