12. Aku Tahu Ini Kalimantan tapi ... Harus Banget Ya?

104 12 2
                                    

NGGAK lama berselang, aku sadar bahwa ternyata cuma aku yang menganggap kejadian barusan sebagai sesuatu yang ... nggg, nggak logis. Sebab Atva menubrukku dengan riang gembira. Cowok itu berseru dan berjingkrak-jingkrak sementara kedua tangannya bertumpu di pundakku.

"Brooo! Ini tuh pertanda kalau kamu bagian dari kami!" serunya lalu menyalami tanganku. "Selamat, Bro! Welcome to our big family of RT 07!"

Welcome pala kau!

Oliver merosot turun dari pohon dengan senyum tipis di wajahnya, dia menepuk bahuku dan menganggukkan kepala sebagai bentuk ucapan selamat tanpa suara.

Pak Yuda, pria paruh baya tinggi—saat aku bilang dia tinggi maksudku adalah TINGGI BANGET—berotot dengan brewok tebal ala peselancar Hawaii, selaku ketua RT 07 memutuskan untuk menyudahi acara kerja bakti lebih awal. Beliau juga menghiburku dengan berkata, "Nggak apa-apa, Ga, kadang istriku juga begitu."

Kemudian aku bertanya, "Uhm ... istri Bapak ahli waris apa ya?"

Dia terkekeh lalu mengacak-acak rambutku dengan telapak tangannya yang nyaris dua kali telapak tanganku. "Rahasia," ujarnya.

Singkat cerita, para ibu-ibu datang membawakan makan siang dan karpet besar. Dan di sinilah kami, duduk di bawah pohon saman yang paling rindang sembari sesekali melontarkan candaan—yang sebagian besar tentang aibku.

Reza menceritakan ulang kejadian dahan saman tadi pada para anak RT 07 lainnya, dengan jenis nada kebanggaan bapak-bapak melihat anaknya menjadi juara kelas. Sesekali dia merengut dengan sebelah pipi gembung setiap kali Atva menggoda dengan menyela ceritanya. Yah, sisi baiknya anak-anak jadi menyukaiku.

Aku sempat berjengit sewaktu Mbak Mai menghidangkan sepiring nasi dengan lauk ayam berkuah super merah cabe. Kupikir lidah dan bibirku bakal tersiksa tapi ... nggak jadi.

"Nggak pedas," ujarku, lebih ke ucapan yang tersembur begitu saja.

"Masa?" tanya Mbak Mai.

Mas Tomi tertawa dan menepuk lembut kepala istrinya—tolong jangan menjerit iri—lalu berkata, "Itu cabai besar semua makanya nggak pedas. Mai mana tahan pedas."

Dan berikutnya dia mendapatkan hadiah gebukan keras penuh cinta dari istrinya. Aku sudah bilang untuk jangan iri ya kan?

"Oalah, suka pedas toh?" Bu Sindy, kalau nggak salah rumahnya berjarak sekitar tiga rumah di kiri rumahku, menyodorkan mangkuk kecil berisi sambal ulek. "Nih, biar puas makannya."

Aku mengangguk sembari melanjutkan mengunyah dan menyendok sambal.

Saat itulah Reza, yang duduk di sebelahku, memekik dan langsung melompat. Anak-anak lain yang berjumlah lima orang melakukan hal sama—kecuali pada bagian berubah jadi anak macan. Aku menyuapkan suapan kedua sembari memperhatikan anak-anak itu menyambut dua warga yang baru datang.

Aku baru mengunyah dua atau tiga kali ketika akhirnya aku mengenali kedua perempuan tersebut, dan punggungku langsung menegak.

Dari semua tempat di dunia ini ... kenapa aku mesti bertemu dengan dia di Kalimantan?

Tiba-tiba punggungku digebuk dan aku terbatuk hingga nyaris menyemburkan makanan di mulutku. Kutolehkan kepalaku ke arah Atva, sembari berusaha menampilkan ekspresi tergalak yang aku punya.

Suaka MargagaibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang