16. ... Aku Nggak Tahu Apa Namanya

107 13 3
                                    

PANTANG bagi kita untuk terbengong-bengong sementara sesosok makhluk-terutama yang nggak bakal kalian temui dalam pelajaran biologi makhluk hidup-berusaha mengoyak sangkar iga kita. Tapi itulah yang aku lakukan.

Aku terlalu terkejut sebab nggak merasakan sakit ketika makhluk buruk rupa itu seharusnya sudah mengonyak dan membuatku berdarah-darah. Bajuku nggak rusak, dadaku baik-baik saja, dan nggak ada darah merembes di sana. Rasa sakit yang aku rasakan semata-mata disebabkan jatuh terbaring menghantam lantai kayu keras ini.

Kok bisa? Padahal tadi aku melihat tangannya terbenam ke dadaku.

Makhluk itu menindihku, kini sadar bahwa dia nggak berhasil melukaiku. Dan ... kutebak dia marah karenanya, sebab dia memekik murka.

Kutinju makhluk itu hingga terpental menghantam pintu. Dia kembali menjerit marah. Pintu di belakangnya menjeplak terbuka lebar, memamerkan bagian dalam rumah yang gelap gulita. Seakan ada selautan tinta kental dituang ke dalam dan kini terjebak di sana.

Tololnya, aku kembali terbengong menatap rumah itu. Secara nggak langsung memberikan kesempatan makhluk itu mencengkeram kakiku dan menarikku masuk ke dalam rumah.

Kutendangkan kedua kaki secara membabi buta padanya. Sekuat tenaga berusaha untuk melepaskan diri dan menjauh darinya. Ya Tuhan, dia kuat sekali, padahal besarnya hanya setengah tubuhku.

Betisku sudah melewati ambang pintu, dan seketika mati rasa. Alarm kebakaran menjerit di kepalaku. Aku nggak bisa lagi menendang dan kini hanya bisa mencakari lantai kayu. Berusaha menahan tubuhku menjauh.

Saat itulah sebuah labu matang sebesar kepalaku melesat dan menghantam di makhluk buas.

Maaf, aku ralat, itu bukan sekadar labu matang. Melainkan labu dengan bagian dalam busuk dan berisi macam-macam ular kecil berbisa dan tarantula.

Sebagian besar berjatuhan di kakiku, tapi beruntunglah aku sebab mereka lebih tertarik kepada si makhluk bengis.

"Ah!" seruku ketika tiba-tiba tangan kuat menyusup dari bawah ketiakku. Terkejut sebab mengira ada makhluk buas lain menyergapku dari belakang.

"Tenang-tenang, ini aku!" Mas Tomi berseru sementara kedua tangannya melingkar di dadaku, menarikku menjauh.

Aku melihat makhluk itu melompat-lompat marah, mengenyahkan segala macam makhluk berbisa yang kini mengerumuninya. Aku juga melihat bagaimana dia menarik-mengoyak-ular yang menggigit sisi tubuhnya.

Apa yang terjadi? Makhluk apa itu?

Mas Tomi secara harfiah melemparku masuk ke dalam mobil dan mendesakku ke jok penumpang, barulah setelah itu dia membanting pintu menutup. Nggak buang-buang waktu dengan segera tancap gas hingga mobil menyerempet pagar hidup yang memang sudah mendoyong.

Lima menit itu kami habiskan dengan hening ketegangan. Aku karena syok dan Mas Tomi karena fokus untuk menyetir dengan kecepatan 120 Km/jam.

"Ka-kamu-kamu nggak apa-apa?" tanya Mas Tomi setelah mobil akhirnya memasuki jalan poros.

"Ka-kayaknya," jawabku. Kuraba-raba dadaku. Nggak, nggak ada luka gores atau memar. Aku agak sesak napas dan kakiku yang mati rasa perlahan pulih, tapi selain itu aku baik-baik saja. "Itu tadi apa?"

Mas Tomi memutar setir dan menyalip mobil pikap di depan. Dia lalu berkata, "Kabar buruk."

Kabar buruk.

Aku punya firasat kalau itu adalah kabar yang sangat buruk.

"Itu makhluk jadi-jadian atau apa?" tanyaku.

Lagi-lagi Mas Tomi menyalip kendaraan di depan, tapi kali ini nggak repot-repot menjawab pertanyaanku. Dia malah melemparkan pertanyaan, "Tadi ... makhluk itu berusaha menyeretmu masuk ke dalam sana?"

Suaka MargagaibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang