20. Aku Disambar Lambang Negara

106 13 3
                                    

“DHANAN?!” pekikku.

Dhanan kini memiliki sepasang sayap besar mencuat di punggungnya, raut wajahnya berubah menjadi campuran aneh antara manusia dan burung. Dia berdiri sedikit membungkuk dan bertumpu pada kaki kiri, kuduga kaki kanannyalah yang dihajar ekor Oliver.

Apa ini? Kenapa ini? Kenapa sepupuku punya sayap?

“Lo nggak apa-apa?!” seru Dhanan.

Aku akan menyemburkan, Ya, kamu gimana?!

Sayangnya, Oliver memutuskan untuk menyambarku menggunakan ekornya. Menarikku ke belakang cowok itu dan membelit tubuhku.

“Tu-tunggu, Oliver!” seruku. “Dia itu—”

Oliver mengabaikanku, menyiagakan kedua tangannya membentuk cakar. Kusadari, pada detik-detik terakhir sebelum tubuh ularnya berubah menjadi kubah menyembunyikanku, kuku di jemarinya memanjang, cakar yang sesungguhnya.

Dengan panik aku berusaha melepaskan diri dari belitan Oliver, meski mustahil sebab kedua tangan dan kakiku juga dibelit. Aku punya firasat mengerikan di mana sepupu dan temanku bakal saling menghabisi. Gimana caranya menghentikan kemungkinan itu?

Nggak berselang lama, suara tubrukan terdengar. Mendengarnya saja praktis membuat darah merosot dari wajahku. Dhanan menubruk Oliver, kuduga. Tumpukan ekor Oliver terguncang, membuatku ngeri membayangkan cowok itu nggak sengaja membiarkan ekornya menggencetku sampai mati.

Stop! Dhanan-Oliver! Aduh kenapa sih nggak mau dengar?!” jeritku frustasi.

Hingga kemudian, tumpukan ekor yang memenjarakanku dibuka paksa dari luar. Oliver menjerit—sakit dan marah. Suara gedebuk keras terdengar. Aku nggak yakin apa yang terjadi, tapi tahu-tahu sebuah tangan mencengkeram bagian depan hoodie-ku lalu menarikku.

Aku mendongak dan ternyata Dhananlah yang menarikku. Oh, atau lebih tepat kusebut mengangkatku. Sebab entah sejak kapan ... kakiku kehilangan pijakan. Tanah berjarak sekitar tiga atau empat meter di bawahku.

Dengan sayap terentang lebar ditambah ekspresi keras di wajahnya, Dhanan jadi terlihat seperti penggambaran malaikat maut galak.

Wah, pikirku, nggak setiap hari aku terbang manual begini.

Namun, belum sempat aku mencerna mengapa Dhanan bersayap sekaligus menikmati waktu diterbangkan pertamaku, Oliver dengan teganya memutuskan ini adalah waktu yang tepat untuk menyepak kami.

Bayangkan cambuk dengan diameter tiga puluh sentimeter dan panjang dua puluh meter ... mencambukmu, menghantammu. Itulah yang dialami Dhanan pada punggungnya.

Kami berdua terlempar berkat itu. Sepupuku meraung antara sakit dan murka. Sialnya, kami berdua berubah menjadi jalinan aneh dua manusia dan bulu burung yang menggelinding. Dunia berputar-putar layaknya kolam besar teraduk di dalam sudut pandangku.

Saat akhirnya kami berhenti, aku terduduk dengan kaki selonjor, luar biasa mual, dan terhuyung maju-mundur. Dhanan terbaring miring di sebelah kiriku. Kedua sayapnya terkulai lemas sementara matanya setengah tertutup.

“Dhanan!” seruku panik.

Kutumpukan berat tubuhku pada tangan kiri, berniat bergeser lebih dekat ke Dhanan. Rasa sakit sontak menyengat pergelangan tangan kiriku.

Terkejut akan rasa sakit itu dan koordinasi tubuh yang belum pulih, aku gagal mencegah diri terhuyung ke depan. Wajahku menubruk sisi tubuh Dhanan. Saat itulah aku sadar kalau sekujur tubuhku punya calon memar biru gelap.

“Aw!” pekik Dhanan. Aku nggak bisa melihat ekspresi sepupuku sebab wajahku masih menempel di atas rusuknya, tapi mudah membayangkan kedua matanya sontak terbuka lebar. “Minggir!”

Suaka MargagaibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang