29. Sebuah Tutorial Menembus Tembok

118 8 1
                                    

ENTAH sudah berapa kali kami berbelok di labirin batu bata ini. Namun, berbeda denganku yang berkali-kali menemui jalan buntu, Saroja dengan praktis memilih rute anti buntu dengan penciuman supernya.

Cewek itu berjalan, mengendus, lalu berbelok. Aku semata-mata cuma mengekorinya sepanjang jalan. Begitu pun Grace yang masih digandeng oleh Saroja.

Kenapa ya aku nggak punya kemampuan berguna macam Oliver dan cewek ini? Hidungku biasa-biasa aja tuh.

"Sebenarnya ini tempat apa sih?" tanyaku.

"Ini ... sarang," kata Saroja ragu-ragu. "Kamu pernah bertemu dengan para abdi angkara kan? Tempat ini adalah sarang yang dibuat untuk menampung mereka."

"Abdi apa?" tanyaku.

"Abdi angkara, mereka yang kamu sebut makhluk buruk rupa," jelas Saroja. Kok dia bisa tau aku menyebut mereka begitu, nguping ya? "Kamu beruntung mereka semua sedang dikurung oleh Ratu. Seandainya enggak, kamu pasti sudah diseret ke singgasananya. Dia pasti nggak menyangka kamu bisa masuk ke sini."

Aku nggak paham-paham amat dengan perkataan cewek ini. "Siapa itu Ratu?"

Saroja menggelengkan kepala. "Aku nggak bisa bilang."

Wah, kalau dia nggak bisa bilang berarti si ratu ini adalah bos besarnya kan? Iyalah! Namanya saja Ratu.

"Kamu tinggal di sini?" tanyaku teringat sebuah kamar berlampu minyak di mana aku bertatap muka pertama kali dengannya.

"Enggak, aku di sini karena diperintahkan Ratu untuk menjaga anak ini-"

Saroja tiba-tiba berhenti. Punggungnya menegak, matanya berkilat-kilat emas.

"Di sana, baunya tercium dari sana," katanya padaku sembari menunjuk ke lorong di depannya.

Aku menelan ludah. Lorong di depan gelap sekali. Mana berani aku-eh tunggu dulu. Aku melangkah maju dan menyipitkan mata demi melihat lebih jelas.

Lah, ini sih bukan lorong tapi jalan buntu. Tapi kenapa gelap banget, rasanya satu sudut ini lebih redup dari yang lain.

"Baunya dari balik tembok ini?" tanyaku memastikan.

Saroja mengangguk yakin. Dia melangkah maju dan mengulurkan tangan berniat menyentuh dinding. Rantai emas yang tersambung dengan gelang di tangannya berbunyi gemerincing. Namun, seakan sadar dia langsung menarik tangannya, urung menyentuh.

"Aku bisa hancurkan temboknya," kataku sembari melemaskan pundak. Palu di tanganku bisa dipakai buat mempercepat proses menjebol dinding ini.

Sayangnya si cewek buaya nggak setuju. Saroja berkacak pinggang, nggak puas dengan usulanku. "Kamu nggak boleh merusak mereka," tegur Saroja.

Aku langsung cemberut. Yah ... padahal lumayan mukul-mukul tembok buat melepaskan emosi.

"Eh maksudnya mereka gimana?" tanyaku.

Saroja menghela napas. Ia memandangi dinding bata di depannya dengan sedih. "Tempat ini adalah para abdi angkara itu sendiri. Suara jeritan yang kamu dengar adalah suara tangisan mereka," kata Saroja.

Aku melongo. Hah? Maksudnya suara orang-orang yang berisik banget itu berasal dari dinding bukan dari lorong lain? "Gimana caranya dinding teriak?" tanyaku.

"Sudahlah, sekarang kita harus lewati dinding ini tanpa merusaknya. Waktu kita nggak banyak." Saroja berbicara sembari menatapku. "Kamu bisa membawa kami menembus dinding ini."

"Eh? Gimana?" Aku bertanya sambil merasa cengoh. "Kita nembus dinding rame-rame gitu?"

Namun, Saroja berekspresi serius. "Kamu tau caranya. Kamu keturunan-"

"Oke cukup sampai sana! Aku paham kamu mau bilang apa, tapi nggak usah disebut-sebut," kataku jengkel.

Saroja menaikkan satu alis tapi nggak berkata apa pun. Cewek itu mengulurkan tangan padaku sementara Grace memeluk kakinya lebih erat. Aku tersenyum kecut. Kuraih tangan Saroja sembari berkomat-kamit.

"Apa?" tanya cewek itu.

"Aku beneran nggak tau caranya," gerutuku.

Dia menghela napas. "Sentuh temboknya, bayangkan ragamu melebur," perintah Saroja.

Ngomongnya enak banget ya. Kusentuh dinding bata itu, malah jadi ingat daging-daging yang-

"Hih!" seruku.

Dindingnya beneran muncul daging lagi! Daging-daging itu muncul kayak jamur yang tumbuh, bergerak dan berkedut di jari-jariku. Aku panik, tanpa sadar tanganku menarik Saroja lebih dekat.

"Aw," keluh Saroja.

Ji-jijik, tapi tahan Ega. Bayangin badanmu lebur, jangan pikirkan lengketnya daging dan kedutannya.

Tubuhku terasa ringan lagi. Refleks kutahan napasku karena belum terbiasa dengan sensasi ini. Badanku menyublim menjadi asap yang anehnya aku masih bisa merasakan setiap bagian ragaku. Saroja dan Grace memandangiku tanpa ekspresi.

"Sekarang," bisik Saroja.

Kemudian dalam detik yang luar biasa, kami menembus dinding berlapis daging itu.

Begitu saja.

Bagaimana perasaan saudara saat menembus tembok?

Ah, perasaan saya? Wush terus selesai. Gitu aja, nggak ada yang spesial. Menembus tembok lebih simpel daripada yang aku kira.

Namun, saat tubuhku kembali menginjak tanah di seberang. Leherku langsung tercekik.

"Aaargh!" seruku. "Aw! Aduh-aduh!"

Tali di leherku kembali mengerat. Aku lupa kalau leherku sempat hampir putus gara-gara tali gaib sialan ini. Mataku langsung berkunang-kunang.

"Tenang," kata Saroja.

Tenang gimana hah?!

Aku mau menatap tajam cewek itu, tapi tangannya terulur ke leherku. Jemarinya menyelip ke tali yang mengikatku, lalu dengan mudahnya kuku tajam cewek itu memutusnya.

"Ha-haaah!" Aku menarik napas lega. Kuusap leherku yang perih.

Saroja menarik seutas benang hitam dari leherku. Anehnya, ia merintih sembari menggulung benang itu. Wajahnya yang semula cerah kini terlihat layu kelelahan, sinar di matanya kian terang.

"E-eh kamu nggak apa-apa?" tanyaku cangggung.

Saroja nggak menjawabku, sibuk memadatkan tali hitam itu. Cairan hitam merembes di telapak tangannya, menetes-netes seperti tinta jahat. Lalu benang itu menguap menjadi asap hitam, menghilang seakan nggak pernah ada.

"Wow," gumamku.

Saroja terbatuk dan membungkuk. "Sudah kuduga dia memasang tanda padamu," keluhnya. "Tapi sekarang sudah bukan masalah, tandanya sudah kulepas."

"Ya, eh, makasih banyak," kataku sungguh-sungguh. Beneran loh, Atva saja nggak bisa melepas tali itu, tapi cewek ini gampang banget ngelepasnya.

Atau mungkin nggak juga.

Saroja menghela napas, cewek itu beneran terlihat kehabisan tenaga.

Aku melihat ke kiri dan kanan. Loh, kok cuma kami berdua? "Grace! Adik tiriku nggak ada!" seruku panik.

Masa dia nggak ikut keangkut? Aduh, gawat. Tetapi Saroja menggelengkan kepala. "Nggak apa, berarti dia nggak bisa pergi dari tempat itu," katanya sedih.

Aku meringis, kasihan banget anak itu ditinggal sendirian di sana. Tapi masa bodohlah, aku kan kena masalah gara-gara ibunya.

"Ayo, sebelum lebih banyak hal buruk terjadi," kata Saroja. Meski terlihat lelah dan pucat, cewek itu tetap berjalan tegak sembari menarik tanganku agar kembali berjalan.

Kami berada di tempat yang benar-benar berbeda dari labirin bata. Tempat ini terlihat normal. Lorong rumah modern dengan cat putih dan pintu-pintu dari kayu jadi.

Tunggu-

Mataku membelalak ketika melihat ke dinding di mana sebuah lukisan besar dipajang.

Lukisan besar keluarga Nataraja terpampang nyata di mataku.

Wah, aku kembali ke rumah Ayah.

Suaka MargagaibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang