AKU bangun di kasur lain. Rasanya jiwaku menempel kurang pas di raga ini, kayak stiker yang ditempel agak miring. Meski begitu aku bisa langsung beranjak duduk, dengan napas ngos-ngosan dan keringat membasahi dahi.
Segera kukumpulkan semua kesadaran dengan waswas. Tempat ini kamarku, aku nggak bugil lagi, dan nggak ada cewek berbaju kain kejawen di sini.
Namun di samping kasurku, duduk di lantai dengan kaus oblong kepunyaanku, Daniel melongo dengan sepotong roti tawar di tangannya.
"Kau—" Daniel dengan sigap berdiri. Tangannya yang nggak penuh roti tawar menunjuk mukaku. "Kau muncul dari kasur." Dia lalu menunjuk sebuah toples kaca kosong di meja kamarku. "Kau kan harusnya keluar dari sana, tunggu ke mana nastarnya—"
Aku sebenarnya mau-mau saja mendebat Daniel bahwa aku nggak ngabisin nastar sama sekali, tapi aku keburu muntah.
"Hoek ...."
"Iiiih! Iih!" seru Daniel.
Dih, suaramu lebay banget. Sementara pikiranku mengkritik Daniel, badanku rasanya mau mampus. Kalau tadi jiwaku kayak stiker miring, sekarang rasanya lagi ditarik-ulur hidup mati.
Aku masih muntah sampai Daniel menyodorkan baskom untuk jadi wadah muntahku. Setengah jam kemudian, aku kembali berbaring di kasur, mulut sudah berkumur dan mata berkunang-kunang. Yang bikin jengkel, Daniel dengan santainya ngunyah roti tawar di sebelahku.
Padahal aku tuh lagi laper bangeeet!
"Bagi dikit kenapa ...?" pintaku.
"Nggak, kau masih mual."
Iya sih, tapi kan laper ... "Kau ngapain di sini?"
Daniel langsung menyolot galak. "Ha! Kau nggak ingat aku sibuk ngurusin muntahmu tadi ya!"
Aku lupa kalau kesabaran Daniel padaku itu setipis tisu tenggelam di air, rapuh banget. "Maksudnya ... kau ngapain di rumahku? Di kamarku? Pakai bajuku pula."
"Aku udah lima hari tinggal di sini. Aku di kamarmu tiap malam nunggu kalau-kalau kau muncul. Baju ini? Aku pinjam," jelas Daniel.
Agak lain ni anak. Tapi ....
"KAMU UDAH BERAPA HARI DI SINI?!" seruku.
Lima hari? Lima hari?! Padahal aku cuma sebentar menikmati ketenangan toples nastar, dan kayaknya nggak selama itu deh aku tidur di ... eh bentar. Berapa lama aku tidur di kamar cewek buaya itu? Masa sampai lima hari sih?
"Gini yah, ini sudah hampir seminggu sejak kau masuk ke—" Daniel menunjuk toples nastar, "situ. Dan aku nggak boleh pulang! Padahal niatku ke sini cuma mau ngasih tau kabar soal Ayah! Tapi kau malah—"
Daniel membuat gerakan mau mencakarku dengan tangannya, geregetan. Tapi kemudian saudara tiriku menghela napas lelah.
Dibanding dengan aku yang rasanya mau mampus ini, Daniel kelihatan segar bugar. Dia udah nggak pucat dan katung matanya nggak berlapis-lapis.
Daniel yang menyadari tatapanku mendengus, "Lima hari cukup buat sembuh dari obat."
"Aku dengar kecanduan obat nggak segampang itu lepasnya," ketusku.
"Kalau nggak percaya ya terserah," sahut Daniel.
Yah, baguslah kalau dia nggak kecanduan lagi. Seenggaknya mukanya nggak kayak panda lagi. Tapi kalau dia bisa sembuh secepat itu ... hm.
"Kamu, jangan-jangan kamu juga masih keturunan—"
Aku ditabok pakai roti tawar.
Daniel medumel lalu berkata, "Sudahlah, kau ngapain aja di sana? Dhanan bilang kau nggak cuma masuk ke toples tapi ke alam lain?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Suaka Margagaib
HorrorGanjar tak pernah menyangka bahwa ada rencana licik dibalik keputusan keluarganya untuk mengirim ia jauh dari rumah. Ia akan ditumbalkan oleh keluarganya sendiri kepada seorang ratu negeri gaib. Tak hanya itu, rahasia lain pun terbongkar satu persat...