3. Bisa Nggak Sih Ngasih Nasihat yang Sederhana Aja?

171 17 3
                                    

"NGAPAIN kamu masih di sini?" gerutuku pada Dhanan yang bersikukuh nggak mau keluar dari ruang rawatku. Cowok itu malah mendengus dan menarik-narik selimut. "Oi, nggak usah ditarik-tarik ya, tanganku sakit jadinya!"

Bibir Dhanan monyong tapi akhirnya cowok itu menurut dan menjauhkan tangan dari tangan kiriku yang cidera.

"Makasih, Pak Dokter," sengitku.

"Gue masih nggak terima," kukuhnya.

"Hello? Yang bakal dikirim ke pulau sebelah itu I, bukan anta," kataku.

Bibir Dhanan tambah monyong. "Yaaa, tapi kan gue tetap nggak terima kalau lo mesti pergi jauh kayak gitu! Nanti yang nemenin gue pas acara reuni keluarga siapa?!"

Dari sekian banyak hal, yang dikhawatirkan cowok jabrik ini malah acara reuni setahun sekali yang nggak penting-penting amat itu?

Aku memutar-mutar bola mata. Good, seengaknya dengan adanya cowok ini aku nggak punya waktu buat tenggelam dalam depresot. "Kamu kan bisa ngobrol sama Daniel, atau ... Mas Rafan, Mbak Yasifa, atau siapa gitu. Kan banyak yang seumuran, Nan," kataku.

"Ogah! Mas Rafan perhitungan banget, Mbak Yasifa sombong na'uzubillah, kalau Daniel kan lo tahu seberapa ogahnya gue sama dia sejak dia mulai jadi pecandu!" semburnya. "Baik sebagai keluarga maupun dokter, aku pengin banget laporin dia ke polisi."

Namun, kami sama-sama pengecut dalam hal ini. Linggar Nataraja nggak akan membiarkan Daniel dicekal pihak berwajib. Terlebih lagi karena dia cucu kesayangan Rosdianti Nataraja, nenekku sekaligus kepala keluarga besar kami.

"Jujur, gue merasa kalau Om Linggar sama Tante Hilda juga cuek ke Daniel, sama kayak ke elo."

"Ha?" Aku hanya bisa bereaksi demikian.

"Dua-duanya sama sekali nggak berusaha buat memperbaiki Daniel. Seenggaknya bujuk dia buat ikut terapi atau apa kek! Ini malah diumbar, dibiarin aja. Harusnya mereka belajar dari kondisi kesehatan Grace yang jelek dong!"

Dhanan mengoceh sembari melambai-lambaikan tangan geram. Aku bisa memahami bagaimana dia selama ini gatal melihat Daniel semakin terjerumus obat-obatan terlarang.

Gantian bibirku yang monyong. Aku lalu berkata, "Kadang ... aku masih nggak percaya cowok itu jadi pecandu narkoba."

Dhanan kini mengacak-acak rambut tebalnya. "Yah, gue juga enggak sih. Dipikir-pikir lagi kasihan juga tuh anak. Punya ayah galak banget, punya ibu kayak mak lampir, punya adik cewek sakit-sakitan mulu, terus punya abang tapi sekarang abangnya malah mau diasingkan ke antah berantah."

"Kayak dia peduli aku dikirim ke pulau seberang," dengusku. "Lagian umur kami cuma beda empat bulan."

Sepupuku mendongak dan bergumam panjang. Tangannya beralir merogoh ke saku celananya, tempat sebentuk persegi menonjol berada.

"Masa? Yah, tapi duluuu banget kalian kayak anak kembar lho, si Daniel ngikuti lo ke mana-mana kayak anak itik. Kalau digoda mau dipisahin dari lo pasti bilang gini, 'Nggak mau! Maunya sama Kakak!' sambil nempelin lo kayak cicak," ceritanya.

Dan aku tersedak ludahku sendiri.

Daniel ... nempel ... padaku? Aku sama sekali nggak bisa membayangkan itu tanpa ending kami saling cekik atau cakar. Terakhir kali kami makan semeja saja peralatan makan beterbangan apalagi saling nempel? Yang ada kami saling mbrakot.

"Ekspresi lo menggambarkan daya imajinasi lo tinggi tapi kurang kreatif, Nak," gumam Dhanan yang sedang mengutak-atik ponselnya. "Gue tahu memang susah membayangkan kalian berdua yang sekarang akur, tapi lihat foto ini."

Suaka MargagaibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang