7. Aku Mendapat Uang Sakuku Lagi

126 15 2
                                    

AKU niscaya nggak menganggap mimpiku semalam sebagai sesuatu yang aneh, andaikata aku nggak menemukan benda mencurigakan ini.

Jadi, semalam aku bermimpi tengah berada di lapangan olahraga di SMP-ku dulu, hanya saja lapangan yang ini luar biasa luasnya. Aku memakai seragam olahraga lengan pendek berwarna biru muda, berlarian di lapangan demi mengejar bola voli yang diperebutkan teman-teman sekelasku.

Nggak ada net yang memisahkan lapangan. Papan skor semata-mata bertuliskan: Rebut Bolanya!

Kusadari aturan mainnya berbeda dari yang seharusnya. Tim dibagi menjadi dua kubu, satu terus memukul bola menjauh sedangkan yang satu lagi dengan ganas berusaha merebut bola. Seperti persilangan antara permainan basket dengan voli.

Sesekali aku berhenti berlari saking lelahnya mengejar bola voli kuning biru yang terus melambung berkat pukulan para siswa. Namun, Pak Sam, sang guru olahraga memarahiku.

"Lari Ega! Kejar bolanya!" serunya dari pinggir lapangan.

"Tapi saya capek, Pak," keluhku. Teringat bagaimana aku begitu membenci pelajaran olahraga sewaktu SMP, sebelum aku mulai menekuni olahraga renang demi meringankan asmaku.

Pak Sam yang dalam mimpiku terlihat lebih menakutkan daripada yang kuingat kembali berseru, "Kejar bolanya, Ega! Kamu nggak boleh istirahat kalau belum dapat bola itu!"

Benar, aku harus dapat bola itu, bola itu kan punyaku, pikirku. Entah dari mana pemikiran itu berasal.

Aku kembali berlari ke sana kemari, mengikuti ke mana pun bola itu dilambungkan. Tapi kemudian salah seorang siswa yang juga mengejar bola menubrukku. Aku jatuh tersungkur, tanganku serasa patah.

Pak Sam kembali berteriak padaku. "Berdiri, Ega! Terus kejar bolanya sampai dapat!"

"Enggak bisa, Pak, tangan saya sakit!"

Aku merengek, entah bagaimana telah mundur menjadi anak TK cengeng dengan badan penuh lumpur. Lapangan berubah menjadi taman bermain becek sementara aku dikelilingi anak-anak lain yang menertawaiku.

Daniel muncul, menyibak lautan para perundung bak Nabi Musa membelah Laut Merah. Dia terlihat seperti anak laki-laki galak yang gemar melempariku petasan.

"Berdiri! Nggak boleh jatuh!" serunya sembari menarik-narik tanganku. Aku sontak menjerit sebab Daniel menarik tanganku yang patah.

"Jangaaan! Tanganku sakit, Niel!" tangisku.

"Mana yang sakit?" tanya Dhanan. Entah sejak kapan cowok itu duduk jongkok di sebelahku. Dia mengenakan seragam SMA, satu tangannya mencengkeram seplastik tepung yang dia gunakan untuk mengerjaiku di hari ulang tahunku yang ke lima belas.

"Ini ...," kataku sembari mengangkat tangan kananku.

Tanganku terlihat baik-baik saja, kecuali ada sesuatu yang mencuat aneh di dalam telapak tanganku. Aku berusaha mengeluarkan benda itu dari tanganku, meski perih sekali sebab benda itu mengiris telapak tanganku dari dalam agar bisa dikeluarkan.

Benda itu adalah sebuah logam bundar pipih. Awalnya terlihat seperti bagian tutup belakang jam tangan pemberian Bunda yang dulu iseng kubongkar, tapi saat kulihat lagi benda itu berubah.

Sebuah koin.

Tiba-tiba sebuah tangan pucat muncul dan menutup telapak tanganku. Saat kudongakkan kepala, itu adalah tangan seorang gadis berambut panjang yang nggak aku kenal siapa dia. Jari telunjuknya menutup bibir ketika ia mengucap satu kata, "Jaga."

Berikutnya aku terkesiap bangun dengan badan pegal-pegal karena posisi tidur yang sebaiknya nggak perlu aku jelaskan karena bikin malu.

Kemudian—coba tebak!—aku menemukan benda itu sewaktu mengambil kaus ganti pagi ini. Sebuah koin menggelinding jatuh dari lipatan salah satu kausku.

Suaka MargagaibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang