“OI-oi, tunggu! Kamu mau ke mana?!”
Mas Tomi merenggut tanganku ketika aku berbalik hendak berlari pergi.
“Aku—aku harus pergi,” ujarku panik.
Mas Tomi tersentak, “Hah?! Pergi ke mana?”
“Napa gerang pian berdua ni?!” Mbak Mai bertanya dengan suara melengking.
“Itu,” aku menunjuk rumah yang telah aku tinggali selama lima hari terakhir, “itu bukan rumah yang seharusnya aku tinggali. Itu rumah tiruan yang dibangun di lokasi dan alamat yang mirip. Aku nggak—aduuuh, pokoknya aku harus pastikan itu benar apa enggak!”
Mas Tomi berekspresi seakan baru ditampar. “Ap—kenapa kamu bisa berasumsi begitu? Apa karena kamu masih nggak percaya sebab tempat ini nggak normal?”
Aku mendengar nada kecewa dalam suara Mas Tomi. Serta merta rasa bersalah menyerangku.
“Bukan, bukan begitu,” kataku. Kutunjukkan surat dalam genggamanku pada Mas Tomi, yang kemudian dia baca dengan dahi berkerut. “Satu Minggu yang lalu, ayahku bilang secara nggak langsung kalau aku bukan anaknya. Aku nggak diinginkan di rumahnya. Karena itu, aku pindah ke sini. Memang aku kaget karena ... karena kalian bukan manusia biasa, tapi memangnya kenapa? Kalian baik sama aku. Tapi ... surat ini, yang ditulis oleh orang yang mengaku sebagai ayahku, bilang kalau itu bukan rumah Bunda. Jadi ... yang mana yang benar?”
Pasangan Irawan menatap bolak-balik padaku dan surat itu. Kebingungan terlukis di wajah mereka.
“Aku harus tahu ... apa yang menyuruh Mas untuk menjemputku itu orang yang aku kenal?” tanyaku putus asa.
“Dia ... dia laki-laki,” ujar Mas Tomi.
Jantungku merosot ke dengkul. Jelas bukan Tante Karisa, dan tentu bukan Om Linggar. “Namanya?”
“Aku nggak tahu, sumpah. Dia bilang dia walimu dan menginstruksikan untuk menjemputmu di bandara. Mendeskripsikan bagaimana rupamu, bilang kalau kamu baru keluar dari rumah sakit, dan bertanya apa kamu baik-baik saja,” jelas Mas Tomi. “Dia ... suaranya sangat mirip denganmu. Aku kira dia ayahmu.”
Pikiranku semrawut. Saling tubrukan, tumpang tindih, hingga akhirnya hanya mampu tertatih. Lambat memproses informasi yang baru kuterima.
Mungkin dia memang ayahku?
Tapi kalau iya, kenapa waktu itu dia nggak meminta Mas Tomi untuk menyodorkan ponselnya padaku? Untuk sekadar memberitahuku bahwa: Hei, aku ayah kandungmu.
Kenapa dia malah menyelipkan surat bernada sok akrab itu? Bagaimana dia bisa mendapatkan kertas dari buku tulisku? Bagaimana dia tahu aku menginginkan printer sialan itu? Kenapa dia menyiratkan bahwa selama ini dia di dekatku?
Apa selama ini dia memang berada di dekatku? Apa aku mengenalnya? Tapi siapa dia?
“Ega!”
Segala pertanyaan itu terenggut dengan menyakitkan ketika Mas Tomi berseru sembari menggoncangkan badanku.
“Dengar, kita masuk ke rumah dulu oke? Kamu pucat banget,” ujar Mas Tomi. Dia menarik tanganku tapi aku bertahan di tempat dan melangkah mundur.
Aku tergagap ketika berkata, “Enggak, enggak bisa. Aku harus—”
“Oke-oke, aku paham. Aku masih ingat alamat yang kamu sebutkan setelah kejadian kamu pingsan waktu itu, dan kamu ingin tahu apa benar ada rumah bundamu di sana. Begitu?”
Menanggapi pertanyaan tersebut, aku menganggukkan kepala. Mas Tomi bergumam, tangannya melipat suratku tapi nggak mengembalikannya padaku. Alih-alih, dia memberikan surat itu pada Mbak Mai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suaka Margagaib
TerrorGanjar tak pernah menyangka bahwa ada rencana licik dibalik keputusan keluarganya untuk mengirim ia jauh dari rumah. Ia akan ditumbalkan oleh keluarganya sendiri kepada seorang ratu negeri gaib. Tak hanya itu, rahasia lain pun terbongkar satu persat...