4. Nah Itu Masalahnya, Dia Memang Edan

150 18 5
                                    

KABAR baiknya, tiga hari kemudian aku diizinkan pulang. Meski sebenarnya pergelangan tanganku belum pulih sepenuhnya, seenggaknya baret-baretku sudah kering berkat salep yang diberikan dokter. (Oke, dengar aku bakal ngaku. Sebenarnya aku bisa pulang pada hari ke dua tapi aku malas pulang ke rumah. Daripada gerah hati 24 jam mending nginap di rumah sakit ya kan?)

Kabar buruknya, aku harus kembali tinggal di rumah ini. Rumah keluarga Nataraja yang guede banget ini. Memang bukan jenis rumah dengan pilar-pilar ala sinetron TV. Malah rumah ini masuk kategori minimalis modern dengan teknologi mutakhir.

Meski begitu, kuduga aku nggak akan merindukan rumah ini setelah pindah nanti. Oh, ya, tiga hari terakhir aku merenungkan hal-hal positif yang bakal terjadi kalau aku pindah rumah.

Salah satunya adalah aku mungkin nggak akan merasakan sensasi terjepit dan emosi kacau balau seperti saat ini. Campuran antara tegang, menahan marah, dan yah sesak napas. Apa? Aku lupa bilang kalau aku punya penyakit asma? Nah, sekarang kalian tahu.

Padahal aku sudah bersyukur nggak disambut siapa-siapa kecuali Tante Karisa sewaktu sampai siang tadi. Sayangnya aku dituntut untuk hadir di makan malam dan yah ... di sinilah aku.

Kenapa?

Kenapa aku mesti duduk berhadapan dengan wajah tirus pucat Daniel dan mata merah kurang tidurnya?

Seengaknya ada lima kursi lain yang bisa aku duduki, tapi kenapa aku harus bertahan sama pengaturan tempat duduk konyol ini?

Foto-foto yang ditunjukkan Dhanan padaku jadi terasa makin jauh dari realita. Mata Daniel jelalatan tapi terus terfokus ke arahku, makanan di piringnya sama sekali nggak disentuh. Overall, dia bikin aku jengah setengah mati.

Om Linggar—yah akhirnya kuputuskan sebutan itu lebih cocok untuknya—duduk di kursi kebesaran seperti raja tiran di kepala meja. Sementara Tante Hilda yang duduk berhadapan dengan Tante Karisa sibuk menyuapi Grace yang terus cekikikan dengan bubur kental.

Adik Daniel yang seingatku berusia delapan tahun itu terus memainkan makanan di piringnya dan memekik, “Mama lihat aku! Mama lihat aku!”

“Iya, sayangku, Mama lihat,” sahut Tante Hilda.

Grace terlihat lebih sehat dari yang biasanya aku lihat. Meski dia masih pucat dan lingkaran kelabu di bawah matanya masih ada. Dia juga terlihat lebih energik sekarang. Sebelumnya dia hanya duduk diam dengan senyum aneh di wajahnya, persis seperti boneka porselen seram karena kulit pucat dan rambut kusutnya.

“Aku kan sudah mau sembuh!” seru Grace riang. Suaranya bergema di seisi ruangan bak celoteh bayi.

Aku tersentak kaget. Awalnya kukira aku nggak sengaja menyuarakan pikiranku dengan gumaman dan yang barusan itu adalah reaksi Grace. Tapi saat aku mendongak, anak itu berceloteh ceria pada Tante Hilda, sama sekali tidak memperhatikanku.

Mungkin itu tadi cuma kebetulan seruannya sejalan dengan pikiranku.

Tante Hilda berkata pada Grace tenang, “Iya, Sayang.”

“Sebentar lagi bisa main keluar rumah!” seru Grace dengan nada mendamba. “Nanti pergi ke pantai, ya Mama?”

Wow, aku jadi agak kasihan pada anak itu. Sejak mulai sakit-sakitan dua tahun lalu—atau kira-kira selama itu soalnya aku nggak terlalu ingat—Tante Hilda sama sekali melarang Grace untuk keluar rumah. Kupikir itu satu-satunya hal baik yang bisa kuhormati dari Tante Hilda, yaitu dedikasinya merawat Grace sepenuh hati.

“Iya, Grace cuma harus tunggu sebentaaar lagi,” ujar Tante Hilda riang. Sayangnya, ujaran riang itu diakhiri dengan senyum dilayangkan padaku.

Jelas banget kalau itu bukan senyum ramah. Kuduga Tante Hilda sedang pamer padaku atau semacamnya.

Suaka MargagaibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang