5. Dlangap-Dlongop

155 15 2
                                    

"ADUH, Den ... belum lama tinggal di sini kok malah mau pergi to? Saya ditinggal lagi," keluh Bu Winarni sembari memasukkan Tupperware berisi potongan buah apel, nanas, dan mangga ke dalam tas punggung yang akan kubawa.

Aku sebenarnya ingin menjelaskan bahwa di pesawat ada camilan yang bakal diedarkan para pramugari, tapi kubiarkan saja demi kesenangan Bu Winarni.

Sementara itu, aku menyuapkan suapan nasi goreng terakhir lalu buru-buru mengunyah. Oh, ngomong-ngomong aku sedang sarapan di dapur saat ini. Terjemahan: menghindari kelakuan Daniel yang macam-macam di ruang makan sana.

"Saya kan cuma balik ke kampung halaman Bunda ...," kataku, nggak tahu mesti memberikan alasan apalagi. "Nanti saya sering-sering telepon Bu Winarni deh."

Sebelumnya Bu Winarni bilang padaku bahwa dia sempat mengobrol dengan Dhanan sebelum cowok itu kembali ke Jakarta. Singkat cerita mereka berdua satu server nggak terima kalau aku ditendang dari rumah ini.

Aku sendiri sudah nggak mempermasalahkan itu lagi.

Yang aku pikirkan adalah ... akhirnya aku bisa minggat! Hore!

Satu-satunya yang masih membuatku senewen adalah kenyataan bahwa aku nggak tahu asal-usulku yang sebenarnya. Maksudku, aku nggak pernah membayangkan bakal berada di situasi di mana ... ada yang tahu siapa ayahku?

Tiga hari terakhir aku terus dibayang-bayangi kenyataan bahwa selama ini—mungkin—aku membuat Bunda tersiksa. Bagaimana kalau aku memang hasil perkosaan? Kalau iya, mengapa Bunda nggak mengugurkanku saja dan, yah, bikin anak yang sah sama Om Linggar?

Oke, aku tahu sebenarnya aku bisa bertanya ke Om Linggar, tapi ogah ah maleees! Aku lebih suka berinteraksi seminim mungkin dengan human satu itu.

Nah kan, mood-ku hancur lagi cuma gara-gara mengingat bapak-bapak itu.

"Sudah siap?" tanya Tante Karisa yang entah sejak kapan telah berdiri di ambang pintu dapur.

Aku mengangguk dan meminta tas yang masih dicengkeram Bu Winarni. Wanita yang rambutnya mulai berubah abu-abu itu mendesah lalu alih-alih memberikan tasku, dia membantuku untuk mengenakannya.

"Hati-hati ya Den," katanya dengan mata berkaca-kaca.

Aku pamit lalu berjalan mengikuti Tante Karisa, menyusuri lorong rumah yang nyaris kesemuanya bercat putih. Wow, barangkali ini terakhir kalinya aku menginjakkan kaki di rumah ini.

Kubiarkan diriku berlama-lama memandangi potret keluarga besar Nataraja yang dipajang di ruang depan. Sedikit meringis karena dalam foto itu kami semua terlihat begitu ... indah sekaligus muram dan tragis. Hanya Bunda yang terlihat berseri-seri.

Mobil abu-abu kepunyaan Tante Karisa sudah terparkir di pekarangan ketika kami keluar pintu depan. Wanita paruh baya itu masuk ke mobil lebih dulu lalu memberi isyarat untukku agar menyusul.

"Oh, kukira aku bakal pergi ke bandara naik taksi online?" tanyaku ketika menoleh ke arah koperku yang sudah diletakkan di jok penumpang belakang.

"Enggak," sahut Tante Karisa, "instruksi tadi malam cuma jaga-jaga kalau Tante sibuk, tapi ... masa Tante nggak punya waktu buat ngantar kamu sih?"

Aku tertawa garing sebagai tanggapan.

Sepanjang perjalanan Tante Karisa mencoba membangun percakapan akrab denganku. Menjelaskan nanti aku harus melakukan apa saja ketika sampai di sana. Sayangnya setengah pikiranku melayang ke tempat terakhirku melihat Bunda, tanah tempatnya dikuburkan dengan nisan batu berukir namanya.

Aku nggak sempat pamit ke Bunda, pikirku masam.

Kenapa sih aku baru ingat sekarang?

Oke, aku tahu, karena aku goblok.

Suaka MargagaibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang