9. Boleh Aku Pingsan Lagi?

122 20 4
                                    

SESEORANG mencolek-colek pipi kananku menggunakan jemari yang basah. Oh tunggu, tapi jari kok lentur banget?

Aku membuka mata dan langsung dihadapkan dengan wajah Mbak Mai yang hari ini dibingkai kerudung biru laut. Mbak Mai menegakkan punggung lalu memanggil suaminya. Aku mengernyit. Mbak Mai berada di sisi kiriku dan kedua tangannya memegangi kipas angin lipat yang dihadapkan ke wajahku. Lalu siapa yang mencolek pipiku?

Kutolehkan kepala ke kanan dan ..., "Meong?"

Nah kan, bukan jari. Ternyata si anak macan menjilati pipiku menggunakan lidah merah mudanya. Sekarang anak macan itu melompat naik ke atas perutku dan mengamatiku. Ekornya yang berbulu lebat terangkat dan sesekali bergoyang ke kanan kiri.

"Aku halusinasi ya?" tanyaku pada Mbak Mai.

"Kadak¹," jawabnya.

"Ruang makan, ruang makanku nggak kebakaran kan?" tanyaku.

Mbak Mai menggeleng lalu menyentuh dahiku. Oh bukan, dia menyentuh kompres handuk basah yang menempel di dahiku.

Aku mengamati sekitar, memang masih belum familiar tapi aku tahu aku tengah berbaring di kasur ruang depan.

Di pinggir kasur, Mas Tomi tengah duduk bersimpuh dengan senyum masam. Aku hampir bernapas lega dan mengira bahwa yang terjadi sebelumnya mungkin cuma pingsan efek kelaparan atau apa, tapi kemudian aku melihat Atva.

Aku niscaya megap-megap lagi, andaikata Atva nggak berada dalam posisi simpuh sementara kepalanya di pangkuan Mas Tomi.

"Udah dong ... lihat tuh, Ega sudah bangun," kata Mas Tomi sembari menepuk-nepuk kepala Atva.

Atva menegakkan punggung lalu menoleh ke arahku. Kedua mata teman baruku merah dan hidungnya berair. Wah ... sudah berapa lama dia nangis? Cowok itu lalu beringsut mendekat dan duduk di sebelah kananku. Si anak macan menyalak dan mendesis hingga Atva berjengit.

"Aduh lah, kadak sopan Reza ni!" gerutu Mbak Mai ketika menepuk main-main kepala si anak macan.

"Reza?" Aku membeo. Si anak macan berjingkrak dan berputar-putar di atas perutku.

"Iya, eh anu." Mbak dengan gugup melirik ke arah suaminya, meminta bantuan.

Atva menggaruk-garuk tengkuk lalu berkata, "Begini, Bro. Sori banget soal yang tadi, dan ponimu."

"Poniku?" Aku refleks meraba-raba puncak kepalaku. Oh, good, rambut depanku yang kaku sekarang jadi pitak dan tambah kaku.

"Aku nggak tahu kalau kamu nggak tahu kalau aku sama Reza bisa ... eh, anu jadi kucing dan ...." Atva kini melirik pada Mas Tomi yang menampilkan ekspresi kok-aku-sih?

"Jadi kucing dan api?" Aku menerawang ke langit-langit ruangan. "Aku pengin bilang nggak mungkin tapi barang buktinya ada di atas perutku."

Atva kembali menggaruk tengkuk, Mbak Mai kini pura-pura mengutak-atik kipas anginnya, sementara Mas Tomi masih tersenyum masam.

"Tapi ini nggak logis!" seruku lalu menutup mata menggunakan lenganku. "Aku pasti mimpi ya kan? Aku pasti masih tiduran di suatu tempat dan-"

Buru-buru kuturunkan lenganku lalu menatap mereka. Si anak macan mengeong dengan nada yang mirip tanda tanya.

"Apa aku sudah mati? Apa aku mengalami kecelakaan di perjalanan lalu meninggal? Apa kalian hantu? Arwah penasaran yang bisa berubah wujud macam-macam?" Aku menatap horor pada Mas Tomi dan yang lainnya.

Mbak Mai menanggapi pertanyaanku dengan merengut dan memukul kepalaku menggunakan kipas portabelnya.

"Adaw!" seruku.

Suaka MargagaibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang