14. Sepucuk Bom Atom

104 13 2
                                    

BICARA soal hubungan Virgi dan Jefri, aku jadi teringat tentang paket yang diantar Jefri. Paket malang yang kulupakan dan kini teronggok di ruang depan.

"Duh," rutukku.

Apa paketnya masih bisa dikembalikan kalau sudah berhari-hari begini?

Aku mengetik nomor telepon tokonya, berniat menghubungi mereka untuk memberitahu bahwa paket mereka nyasar dan lain sebagainya.

"Oh, tapi paketnya memang untuk Saudara Ganjar Nataraja, Kecamatan Margagaib, Desa Mufakat, RT 07, rumah nomor 23. Sudah dibayar lunas," jelas seseorang yang mengaku bernama Mbak Dea.

Aku mendengarkan sembari meneliti kertas yang ditempel di bagian atas paket.

"Mbak bilang sudah dibayar lunas?" tanyaku.

"Iya," jawabnya.

"Siapa yang bayar?"

Mbak Dea pasti tengah membolak-balik halaman buku pembayaran saat ini sebab aku bisa mendengar suara kertas yang khas. "Atas nama Saudara Ganjar Nataraja," jawab Mbak Dea.

"Di bayar di toko? Atau pembelian online? Transfer bank?" tanyaku.

"Dibayar di toko, uang cash," jawabnya.

"Yakin, Mbak?" sahutku. Aku nggak merasa pernah mampir ke Banjarmasin, memasuki toko elektronik, membeli printer model terbaru lalu membayar dengan uang cash sebesar tujuh digit.

"Iya, saya sendiri yang mencatat transaksinya, saya juga yang membantu memilih printer," jawabnya.

"Tapi aku nggak-" Aku terdiam, berusaha mencerna makna tersirat. "Bisa tolong deskripsikan pembelinya?"

"Maaf, Mas minta saya mendeskripsikan Mas?"

"Iya," sahutku.

"Awal dua puluhan, tinggi, ramping tapi agak berotot, rambut hitam dipotong undercut, poni menjuntai ke depan, baju kaus lengan pendek warna biru muda, celana jins pensil pudar, dan tangan kiri diperban," terang Mbak Dea.

Aku melongo. Itu eh ... itu aku, atau lebih tepatnya lagi kurang lebih seperti itulah penampilanku sewaktu dijemput Tante Karisa dari rumah sakit.

Jadi ... KOK BISA?

"Mbak, eh Mbak yakin?"

"Yakin ... banget," sahutnya, kali ini terdengar agak malu-malu.

Kami berdua berdiam selama detik-detik penuh kecanggungan.

"Ya ... kalau begitu ... makasih Mbak," kataku.

Kami bertukar salam lalu aku menutup telepon. Kutatap paket itu dengan penuh kecurigaan. Seseorang yang sangat mirip aku membeli paket ini dan mengirimnya ke rumah baruku.

Kenapa makin ke sini makin banyak kejadian aneh yang menimpaku?

Sesaat kemudian, pintu depanku diketuk.

"Kakaaak! Reza boleh masuk kan? Kan-kan-kan?"

Aku berderap dan membukakan pintu untuk bocah cilik itu, yang ternyata sudah berubah jadi makhluk yang lebih cilik lagi.

"Hei, mau bantu Kakak buka paket?" tanyaku.

Kemudian, Reza menggaruk-garuk sisi paket dan membantuku mengoyak plastik pembungkusnya. Kardus printer itu sudah pernah dibuka, terlihat dari lakban bagian atasnya yang sudah dilapisi lakban kuning. Aku membuka bagian atas paket menggunakan cutter.

"Waah, semoga nggak ada bom di dalamnya," kataku pada Reza. Si anak macam mengeongkan tanda tanya.

Printer di dalamnya dibungkus bubble wrap putih, direkatkan menggunakan selotip. Buku panduan, kartu garansi, dan nota pembelian terselip di pinggir. Kukeluarkan semua itu dan menemukan sepucuk amplop putih.

Suaka MargagaibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang