Aku merangkak keluar dari dinding daging itu seperti seekor kadal besar yang baru lahir. Badanku rasanya baru dirakit ulang, karena memang benar tubuhku tadi seperti mengurai lalu memadat lagi.
Terengah, marah, dan aku sudah muak dengan semua kegilaan ini. Kutendang dinding daging itu, menjijikkan sekali ketika melihatnya berkedut-kedut seakan hidup.
"Dasar sialan!" seruku. "Keparat!"
Sebelum lidahku sempat menyumpah-nyumpah lagi, daging yang melapisi dinding itu meresap, menghilang menyisakan batu bata dan terlihat kuno. Jika situasinya lain aku pasti sudah menjerit ketakutan, tapi aku sudah terlalu malas. Alih-alih takut, aku malah ingin daging sialan itu muncul lagi biar bisa kuhajar.
"Ah-hah!" seruku, dengan rakus berusaha menghirup udara sebanyak mungkin.
Sekujur badanku basah oleh cairan merah. Dengan jengkel kuusap wajahku, menyingkirkan darah lengket yang membuatku terlihat seperti pelaku pembunuhan.
Enggak-enggak, aku bukan pelaku tapi akulah korbannya. Amarahku makin menjadi setiap kali kurasakan badanku remuk, berusaha keras untuk tetap bertahan hidup. Rasa sakitku perlahan reda, tapi murkaku malah semakin membumbung tinggi.
Kenapa? Kenapa sih aku perlu mengalami semua ini? Aku ada salah apa?
Kupaksa badanku berdiri, sendi-sendiku terasa longgar. Saat aku akhirnya berdiri tegak, darah yang melumuri badanku sirna seperti menguap di udara. Persetan dengan itu. Kuingat-ingat apa tujuanku tadi.
Koin. Koin pemberian Ayah yang direbut tangan itu. Aku masih ingat Daniel berseru kalau tangan itu adalah mamanya. Berarti aku harus mencari wanita itu di tempat antah-berantah ini.
"Tante Hilda ... brengsek," umpatku.
Aku melangkah gontai. Rasa sakit dan perih di leher membuatku meringis tapi selain itu tubuhku perlahan pulih.
"Di mana ini ...," keluhku.
Tempat itu hanya berupa lorong dari batu bata lapuk dengan banyak belokan. Aku sudah berjalan dan beberapa kali menemui jalan buntu. Semakin banyak jalan buntu yang kutemui, semakin emosiku mau meledak di ubun-ubun.
Sudah gelap, bau apek, dan labirin ini nggak jelas banget.
Aku terus berjalan hingga akhirnya kembali dihadapkan tembok, jalan buntu. Kugertakkan gigiku menahan marah yang sudah tak tertahan.
"Aku nggak peduli tempat apa ini!" seruku. "Aku mau keluar dari sini gimana pun caranya!"
Kutinju dinding itu sekeras mungkin, bunyi bum! menggema dan tempat itu bergetar. Tembok yang kutinju retak. Sekali lagi kutinju tembok itu, terus kuulangi demi menyalurkan emosi.
Saat kurasa tinju berikutnya akan meruntuhkan tembok itu, suara jeritan keras menggema memekakkan telingaku.
"HENTIKAAAN!"
Refleks kututup telingaku.
Suara jeritan itu nggak hanya satu, tapi bersahut-sahutan. Suara laki-laki dan perempuan meraung kesakitan. Seakan banyak orang dari ruangan berbeda berteriak bersamaan, memprotes kelakuanku.
"HENTIKAN! HENTIKAN! DIAM!"
"HUAAA!"
"JANGAN PUKUL!"
"BERHENTI! SAKIIIT!"
Telingaku berdenging saking kerasnya suara-suara itu. "KALIAN YANG DIAM!" raungku murka.
Seakan ada tombol mute yang ditekan, suara jeritan itu langsung bungkam. Namun, lorong itu bergemuruh dan bergetar.
"Di mana kalian?!" seruku pada orang-orang itu. "Di mana jalan keluarnya?! Jawab aku!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Suaka Margagaib
HorrorGanjar tak pernah menyangka bahwa ada rencana licik dibalik keputusan keluarganya untuk mengirim ia jauh dari rumah. Ia akan ditumbalkan oleh keluarganya sendiri kepada seorang ratu negeri gaib. Tak hanya itu, rahasia lain pun terbongkar satu persat...