2. Aku Dicoret dari KK, Hore!

202 22 3
                                    

NGGAK ada yang bisa dan mau menjawab pertanyaanku. Ayah bergeming, Dhanan masih menggenggam gelas plastik kosong, Tante Karisa berdiri gamang, sementara si perawat malang melongo.

Benda yang disebut Ayah—ralat, sepertinya Pak Linggar Nataraja memang bukan ayah kandungku—sebagai jimat itu masih berada di lantai.

Aku memang nggak punya, dan nggak peduli sebenarnya, pengalaman dengan hal-hal macam jimat dan sebangsanya. Tapi aku yakin yang namanya jimat kan seharusnya pembawa keberuntungan atau melindungi pemiliknya.

Jadi ... jimat macam apa yang bisa meledak seperti itu? Maksudku, bayangkan kalau jimat nggak jelas itu meledak sewaktu aku tidur. Bisa-bisa aku tewas karena kebakaran atau sejenisnya.

“Seperti yang saya bilang, kamu bakal saya kirim ke Kalimantan,” kata orang yang selama ini kukira sebagai ayahku itu. Dia bilang ‘saya’ bukan ‘Ayah’ seperti yang selama ini dia lakukan untuk menyebut dirinya padaku, itu sudah cukup menjelaskan segalanya.

“Aku—” Sial, suaraku serak sekali.

Enggak, Ega ... kamu nggak butuh bersedu-sedan untuk orang ini. Kamu nggak boleh kelihatan lemah di depan orang ini. Singkirkan melodrama nggak penting itu sekarang!

Aku berdeham sebelum kembali berbicara. “Aku bakal tinggal di mana? Tengah hutan?”

“Karisa bakal jelasin ke kamu,” sahut Pak Linggar. Pria itu lalu melenggang pergi seakan-seakan nggak ada koin meledak di telapak tanganku tadi.

Perawat yang datang sebelumnya juga pamit undur diri. Sepertinya dia bakal punya bahan rumpi sampai shift berakhir nanti.

“Jadi, uhm, Ganjar, kamu bakal tinggal di rumah ini,” kata Tante Karisa sebelum menunjukkan layar ponselnya padaku.

Kuabaikan rasa sakit hati dan perih di mataku. Sebagai gantinya kuamati foto rumah panggung—kuperkirakan setinggi paha atau pinggang orang dewasa—dengan atap asbes kelabu yang ditunjukkan Tante Karisa. Rumahnya sendiri terlihat cukup kokoh, meski pekarangan depannya penuh rumput liar dan ada sarang laba-laba di sana sini.

“Tenang, rumahnya bakal dibersihkan dan kamu nggak perlu khawatir soal masalah uang atau lain-lain. Semua kebutuhan hidupmu masih kami bantu. Kami bakal tetap membiayaimu, Ga,” jelas Tante Karisa.

Dhanan yang sudah meletakkan gelas menyela Tante Karisa dengan berkata, “Wait-wait, kenapa jadi ekstrem begini? Dia baru kecelakaan, Tante, gue sendiri yakin kalau nyawa cowok dodol ini belum balik sepenuhnya.”

Aku melotot pada Dhanan karena omongan absurd barusan, tapi belum sempat aku menyemburkan sumpah serapah, Tante Karisa terlebih dulu melanjutkan bicara.

“Nggak sekarang kok, mungkin baru bulan depan atau sampai Ega pulih nanti,” katanya.

“Tapi bukan itu intinya!” sergah Dhanan. “Kenapa dia mesti pergi ke Kalimantan? Dalam sejarah keluarga kita nggak pernah ada hukuman aneh kayak gini. Daniel yang parah gitu aja nggak pernah dihukum! Ini sih jatuhnya Ega diasingkan!”

“Eh itu ... karena ini rumah warisan dari Mbak Lila,” jawab Tante Karisa sembari menunjuk layar ponsel yang masih menampilkan rumah yang dia maksud. Mbak Lila yang dia maksud adalah ibuku.

Aku terbahak mendengar penjelasan Tante Karisa. Oh ... jadi gitu.

Bro, sudahlah, ini nggak ada hubungannya sama kelakuan burukku. Ini soal aku dideportasi karena bukan bagian dari keluarga Nataraja. Aku bakal ke Kalimantan karena Bunda punya rumah di sana, jadi yah, aku nggak perlu tinggal bareng kalian.”

Seumur hidup baru sekali ini aku menyaksikan Dhanan frustrasi hingga menjambaki rambut hitam lebatnya.

“Kok tiba-tiba begini sih?” gerutunya. “Genjer, lo bilang apa gitu kek buat bela diri! Masa lo pasrah aja dikirim ke antah berantah?”

“Bukan antah berantah, Dhanan,” sangkal Tante Karisa. “Di sana sudah cukup padat penduduk jadi bukan hutan seperti yang kamu bayangkan. Akses transportasinya bagus kok, Ga. Cuma mungkin belum ada ojek online. Listrik sama jaringan internet juga bagus,” jelas Tante Karisa.

Yah, seengaknya informasi itu nggak bikin aku takut diisolasi di hutan atau semacamnya. “Sudah berapa lama rumah itu nggak ditinggali?” tanyaku.

“Sejak Mbak Lila menikah dan pindah ke sini, tapi setahu Tante masih ada orang yang dibayar untuk membersihkan rumah itu sesekali,” jelas Tante Karisa.

“Bagaimana sama surat-suratnya? Surat rumah, surat tanah, dan—” Perkataanku disela oleh sergahan Dhanan yang berekspresi seperti bom yang siap meledak.

“Gen-jer ... gue belain lo buat tetap di sini dan lo malah nggak bantu gue?” geram Dhanan.

Oke, aku mulai nggak paham kenapa yang ngotot malah cowok ini. Dia tinggal di Jakarta, sedangkan kami di Surabaya. Dhanan berada di sini hanya untuk menjengukku sebagai sepupu. Memang kami lumayan akrab, kalau dibandingkan dengan kedekatanku bersama sepupu yang lain. Tapi nggak sedekat itu juga. Jadi kalau pun aku nggak tinggal di sini lagi, cowok itu nggak terpengaruh apa-apa.

“Nggak ada gunanya juga aku tinggal di sini, Nan, yang ada aku malah bikin aib. Wait, ap-apa Bunda selingkuh dari Ay—maksudku Pak Linggar?” tanyaku ngeri.

Tante Karisa menggeleng muram. “Nggak ... Mbak Lila nggak pernah selingkuh dari Mas Linggar. Cuma ... kamu memang bukan anak Mas Linggar.”

Alih-alih aku, Dhanan lah yang menatap tajam Tante Karisa dan bertanya, “Maksudnya gimana? Selama ini Ega anak adopsi?”

“Enggak, bukan begitu. Ega anak Mbak Lila tapi bukan dari Mas Linggar. Detailnya ... Tante juga nggak tahu,” kata Tante Karisa. Kali ini sembari menunduk minta maaf padaku.

Dalam kepala, aku menghitung secepat yang aku bisa. Bunda dan Linggar menikah sekitar dua puluh lima tahun lalu, dan kalau aku memang anak Bunda bagaimana mungkin aku bukan anak Linggar?

Apa karena satu tahun setelah mereka menikah Linggar menikah lagi dengan Tante Hilda? Apa Bunda tidak tahan lalu selingkuh dari—tunggu, tapi Tante Karisa bilang Bunda nggak selingkuh.

“Aku anak inseminasi buatan?” tanyaku yang merasa bego setengah mati.

Lagi-lagi Tante Karisa menggelengkan kepala. “Tante nggak tahu, Ga ... Mas Linggar dan Mbak Lila nggak pernah bilang ke Tante.”

“A-atau Bunda di—” Aku nggak sanggup melanjutkan kata perkosa, aku nggak bisa membayangkan Bunda yang aku sayang mengalami hal seburuk itu.

“Kayaknya ...,” sahutnya lemah. “Dua puluh empat tahun lalu Tante masih kuliah di luar kota, Tante baru pulang sewaktu kamu dan Daniel lahir. Jadi ... Tante nggak tahu apa-apa.”

Isi perutku serasa teraduk, nyaris separah ketika aku kehilangan kendali mobil tadi malam dan menabrak tembok.

“Tante, bisa ... bisa tolong kasih aku waktu sendiri dulu?” pintaku.

Tante Karisa mendesah sebelum berdiri dan memasukkan ponsel ke saku jasnya.

“Pokoknya kamu jangan khawatir, Ga. Tante masih bantuin kamu meski kamu tinggal jauh di sana,” kata Tante Karisa sebelum beliau pamit undur diri.

Sementara itu, aku lemas memikirkan apa yang baru saja aku ketahui. Menyadari begitu banyak hal penting yang dirahasiakan dariku selama ini.

........................................................................................................................................................................................................................

Salam damai,

\(-ㅂ-)/ ♥ ♥ ♥

Suaka MargagaibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang