30. Sajen Hanyalah Formalitas

91 8 1
                                    

"TEMPAT ini rumah lamaku," kataku pada Saroja.

Nggak salah lagi, aku kenal setiap bagian rumah ini. Aku pernah hampir nonjok muka Daniel di lorong ini. (Aku masih pengen nonjok dia.)

Cewek itu menyahut, "Aku tau kok."

Nggak, maksud saya bukan ngasih tau wahai engkau siluman baya. "Kok kita bisa di sini? Jauh banget Surabaya dari Margagaib, beda pulau loh masa kita nyebrang tembok bisa langsung ke sini."

"Coba lihat badanku baik-baik," kata Saroja.

Aku menatap punggung cewek itu. Rambut hitam panjangnya bergelombang indah. Pundaknya ramping tapi badannya berisi. Langkahnya pun anggun meski kain jaritnya melilit-lilit begitu.

Cantiknya, back view aja cakep banget, pikir hati kecilku.

Eh buset, mikir apaan aku barusan?! Fokus woe!

"Kenapa badanmu?" tanyaku.

"Badanmu yang kenapa," dengus Saroja. "Kamu salah dengar kayaknya."

Aku lalu melihat tanganku sendiri. Lah? "Badanku transparan," kataku heran.

Tanganku terlihat cuma pekat 50%, sisanya buram-buram gimana gitu. Tapi aku tetap bisa menggerakkan tanganku. Jadi begini ya rupaku waktu kejatuhan dahan pohon saman.

"Anu, meski badanku begini aman kan? Aku jadi kelihatan kayak arwah di sinetron azab," ocehku.

"Kalau nggak sakit berarti nggak masalah," sahut Saroja. "Kita menyebrang ke sini bukan dengan raga sepenuhnya."

Kami terus berjalan sampai kemudian aku sadar ke mana tujuannya.

"Ini kamarku," bisikku ketika Saroja berhenti tepat di depan pintu jati itu. "Kenapa kita berhenti di depan kamarku? Kamar ibu tiriku di lantai dua."

"Pokoknya kamu harus kelihatan lemah, nggak berdaya, atau apalah," perintah Saroja. Dia mengabaikan pertanyaanku lagi. "Kalau bisa kelihatan agak idiot lebih baik."

"Heh? Maksudnya?"

Beberapa menit lalu cewek ini mengerang lemah. Tapi sekarang dia sudah segar bugar. Tanpa aba-aba, Saroja langsung mendorong keras pintu kayu jati itu. Pintu terbuka dengan suara berderit dramatis.

Aku sempat menduga kalau kamarku bakal acak-acakan, atau ada makhluk buruk rupa mencelat keluar dari dalam. Tapi bukan begitu. Kamarku masih rapi, yang beda adalah meja belajarku berubah menjadi meja rendah berisi aneka macam sajen dan tiga batang dupa bakar. Lampu juga nggak dihidupkan, tapi ruangan itu diterangi banyak lilin.

Sumber penderitaanku memang ada di dalam sana.

Tante Hilda duduk bersila menghadap meja itu, memunggungi kami yang berdiri di ambang pintu. Ibu tiriku mengubah kamar ini menjadi ruang ritual sesat, nggak kaget sih. Tiba-tiba punggungnya gemetar merinding, dengan pelan Tante Hilda menoleh ke arah kami.

Lagi-lagi aku salah duga, kukira Tante Hilda akan kaget melihatku. Namun, dia lebih kaget melihat si cewek buaya yang berdiri angkuh bak bos besar.

"Pu-Putri?!" Tante Hilda berseru kaget melihat Saroja yang melangkah masuk. Lebih dramatis lagi, ia langsung menundukkan kepala dan buru-buru mengubah posisi kaki menjadi bersimpuh.

Aku hampir berdecak. Sepertinya si cewek buaya ini memang orang besar di dunia gaib sana.

"Ha-hamba sudah lakukan seperti yang diperintahkan Ratu, Tuan Putri," lapor Tante Hilda. Ia lalu menarik sebuah kendi tanah liat berdiameter sekitar 30 cm. Mataku menyipit melihat isinya, air gelap yang kelihatan busuk. "Hamba berhasil merebut koin itu!"

Suaka MargagaibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang