31. Cewek Besar Yang Banyak Giginya

59 8 6
                                    

Sudah satu tahun aku nggak melihat wajah Bunda secara langsung. Aku memang kangen Bunda, tapi nggak pernah sekali pun berharap kami akan bertemu lagi dalam situasi seperti ini.

Atau lebih tepatnya itu adalah arwah Bunda. Meski wajah itu masih sama, tapi matanya sayu dan seperti boneka. Namun yang menimbulkan pertanyaan besar bukan hanya itu.

Tangan Bunda memegang, ah nggak itu kurang tepat, kedua tangan Bunda seakan masuk ke dalam tubuh seseorang.

"Ma-Mama! Mama!"

Grace, adik tiriku dengan senyum ganjil di wajahnya. Ia berbeda dengan anak kecil polos yang memanggil kakak dan memberiku palu. Kenapa tangan Bunda—arwahnya—menyatu dengan pundak Grace?

"Bunda?" panggilku lagi. Nggak ada jawaban, Bunda masih menunduk menatap kosong pada Grace yang berdiri di bawahnya. Kengerian merayap-rayap di punggungku. "Apa yang ...."

Bunda diam saja, nggak menggubrisku. Bahkan mungkin nggak bisa mendengarku.

Tante Hilda menangis dan memegang kakiku. "Maaf, Ega ... maafkan Ibu ...," tangisnya.

"Apa yang Tante lakukan?" tanyaku dengan gigi terkatup. "Tante ngorbankan Bunda demi buat perjanjian setan?!"

Tangis Tante Hilda makin menjadi mendengar pertanyaanku. "Demi Grace! Semua ini demi Grace anakku!"

"Berapa banyak nyawa yang bakal jadi korban?!" seruku. "Bunda, Ayah Linggar, aku?! Siapa lagi hah?!"

"Hanya tiga! I-itu cukup untuk Grace! Ratu bilang dengan itu anakku akan sembuh—"

"Itu?!" Kutunjuk Grace dengan tanganku. "Tante anggap itu sembuh? Apa Tante nggak bisa lihat apa yang sudah Tante lakukan?!"

Kusentakkan kaki, melepaskan diri dengan kasar dari Tante Hilda. Tanpa berpikir panjang aku menghampiri Bunda.

Tapi Bunda bergeming, nggak bereaksi terhadapku yang berdiri di depannya. Bunda seperti boneka besar yang mengikuti Grace. Malahan Grace terkikik dan mengulurkan tangan meraih jari kelingkingku. Jemari anak itu dingin, pucat, dan urat-urat nadi gelap membayang di balik kulitnya.

"Kakak! Ka-kak Ega!" Grace berseru dan terkikik lagi.

Aku bergidik, ingin melepaskan pegangan Grace. Tapi urung karena apa yang aku lihat lebih mengagetkan lagi. Saat Grace menyentuhku, aku bisa melihat bahwa bukan hanya Bunda ... tapi banyak nyawa lain menempel padanya.

Wajah orang-orang yang nggak kukenal terlihat pucat dan tanpa ekspresi. Kepala mereka menempel dari leher atau bagian belakang kepala, tubuh menyatu.

Mereka seperti tanah liat yang ditempel nggak karuan. Orang-orang mati yang ditumbalkan sebelum Bunda? Hanya tiga nyawa apanya kalau gitu.

Wajah di sebelah kaki, telinga di sebelah tungkai. Semuanya hitam sekaligus pucat, bersatu membentuk punggung dari makhluk besar yang membayangi Grace.

Saroja menatap makhluk itu dan berkata, "Kriya."

Makhluk itu mendongak dan menyeringai, Grace tertawa lebih keras hingga hampir histeris. Wajah-wajah di punggung makhluk bernama Kriya itu melolong tanpa suara.

Amarah kembali menggelegak di kepalaku. Ingin sekali kusambar Grace lalu kucabik-cabik mulutnya.

"Menjijikkan, seumur hidup aku nggak pernah sekalipun ngerasa sejijik ini," kataku. "Kotor."

Arwah Bunda masih diam. Seandainya Bunda masih hidup dan mendengar kalimatku barusan, aku pasti sudah diomeli.

Tanganku ingin meraih Bunda tapi nggak berani.

Menggapai orang mati hanya akan mengundang kehancuran lain.

"Ega? A-apa yang kamu lihat, Ga?" tanya Tante Hilda. Kulirik wanita itu sekilas. Ia terlihat begitu putus asa, hampir menyedihkan.

"Itu bukan Grace," kataku pada Tante Hilda. "Itu cuma tubuhnya yang diambil setan. Tante ditipu dan pasti sadar soal itu kan?"

Senyum manis Grace seketika sirna, wajahnya menggelap dan "A-ak-aku Grace!" seru anak itu.

Ia langsung menampik tanganku dan berlari ke Tante Hilda. Bunda mengikuti Grace seperti bayangan. Tante Hilda lalu memeluk apa yang ia kira sebagai putrinya.

Namun, apa yang mataku lihat memang bukan Grace.

Makhluk itu menjulang besar, busuk, gelap dan rambut hitamnya menjuntai ke bawah. Tiga pasang tangannya yang nggak serasi bergerak patah-patah, memegang punggung kecil Grace mendorong anak itu maju.

Makhluk itu seperti wanita raksasa yang memainkan Grace seperti boneka. Gadis cacat, pikirku. Wajahnya hanya penuh dengan kulit kering dan gigi, deretan gigi runcing.

Sementara itu, Bundaku seperti boneka lain yang ia bawa untuk dimainkan ketika bosan dengan Grace. Bundaku, yang aku sayangi, berakhir seperti itu karena Tante Hilda.

"Itu," bisik Saroja. Sekilas aku merasa Saroja juga takut pada makhluk itu. Kemudian tanpa suara bibirnya berkata, "Bunuh itu."

Aku menelan ludah.

Mana bisa. Bulu kudukku berdiri, meski amarahku masih mendidih tapi instingku mau nggak mau waspada pada makhluk itu. Rasanya ada bagian diriku yang berteriak ingin menjauh dari makhluk itu.

Tapi aku benci ... benci luar biasa padanya. Makhluk itu yang menahan Bunda sehingga arwahnya nggak bisa lepas. Entah bagaimana aku tau itu.

"Sudah terlanjur," isak Tante Hilda sembari memeluk erat Grace. "Sudah nggak berguna kalau mundur sekarang. Kalau aku melanggar janji pada Ratu dia akan mengambil Daniel juga."

Aku bertanya tanpa suara pada Saroja, "Itu Ratu?"

Saroja menggelengkan kepala. Dia malah menunjuk diri sendiri, sayangnya aku nggak ngerti maksud cewek itu.

Saroja lalu berbisik, "Ambil ibumu."

"Apa Tante nggak bisa lihat?" tanyaku geram. "Aku memang nggak dekat dengan Grace tapi itu—makhluk dipelukan Tante—sama sekali nggak pantas disebut manusia."

"Dia anakku—" Tante Hilda tercekat.

Semua lilin di ruangan itu tiba-tiba padam. Saroja langsung menarik tanganku. Dari ekspresi wajahnya sesuatu yang benar-benar gawat akan terjadi.

"Ambil koinmu!" seru Saroja panik.

Aku sempat bingung, tapi segera berlari ke kendi yang ditunjukkan Tante Hilda tadi. Langsung saja kubenamkan tanganku ke air busuk di dalamnya. Jariku menyentuh logam pipih dingin. Ini dia!

Namun, saat aku hendak menarik tanganku dari air, tiba-tiba tangan lain mencengkeramku. Langsung kutarik tanganku dan kujatuhkan kendi itu. Sebuah tangan hitam menggapai-gapai keluar dengan lemah.

"Astaga!" seruku kaget.

"LARI! LARI GANJAR!" Di belakangku Saroja berteriak ketakutan.

Aku berbalik tapi langsung ditubruk hingga terlempar keluar dari ruangan itu. Kepalaku menghantam dinding dan telingaku langsung berdengung.

Saat aku membuka mata, ternyata Saroja lah yang menubrukku. Ia masih berada di dalam ruangan, terlihat ketakutan tapi lega melihatku baik-baik saja. Telingaku nggak bisa mendengar suara dari ruangan itu, seakan apa yang kulihat di ambang pintu terjadi di tempat yang jauh.

Aku hanya bisa menatap ketika Kriya melepaskan Grace. Anak itu langsung jatuh lemas dan Tante Hilda menangis tersedu-sedu. Saroja hanya berdiri menatapku balik dan tersenyum lemah. Perlahan Kriya berjalan berat ke arah Saroja. Tangan-tangannya mengelus pundak Saroja, mencengkeram dan menggoresnya dengan kuku pecah.

Saroja hanya menerimanya.

Kepasrahan.

Seakan ia berkata, "Lihatlah, lihat aku."

Dan makhluk itu, Kriya, mendekap Saroja erat-erat.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 09 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Suaka MargagaibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang