19. Aku Takut Disepak Oliver

109 12 3
                                    

RUMAH Oliver praktis sebagai rumah dengan nominasi paling terpencil di RT 07—yang termasuk RT paling terpencil. Letaknya nun jauh di tengah hutan. Baiklah, oke, nggak jauh-jauh amat tapi lumayan lah kalau ditempuh jalan kaki.

Aku mengira rumahnya bakal berupa rumah panggung kayu dengan nuansa alami dan tradisional. Bukannya rumah semen super modern dengan cat putih ini. Dengan sebagian besar dinding berupa jendela kaca anti peluru, dan rumah pohon—serius, dia benar-benar punya rumah pohon berdinding kaca—di kiri rumah. Aku nggak akan kaget seandainya mereka punya interkom dan deretan panel surya. Atau seandainya Edward Cullen mencelat keluar dari dalam sana.

Setelah memencet bel pintu, seorang wanita setengah baya menyambutku dengan ramah. Amma Drake, ibu Oliver. Mempersilakanku duduk di ruang tamu, dan menawarkan teh herbal padaku.

“Eh, uhm enggak, tapi makasih, Bu. Aku cuma mau bertemu dengan Oliver kok,” kataku.

“Ooh, Olly masih di belakang, mau Ibu antar?” tawarnya.

“Enggak perlu, Bu. Saya saja,” kataku.

Lima menit berselang, aku jadi agak menyesal berkata demikian. Sebab yang dia maksud di belakang adalah masuk ke hutan lagi, lalu terus jalan lurus, lalu belok ke depan sebanyak-banyaknya, pokoknya jalan terus sampai bertemu Oliver.

Awalnya aku juga bingung kenapa penjelasannya kelewat ... begitulah. Hingga kemudian logikaku mulai bermain dan teringat tadi malam Mas Tomi menyeletuk bahwa Oliver punya indra penciuman super. (Itulah keuntungannya kalau kamu manusia siluman ular.)

Mungkin kronologinya adalah aku bakal berputar-putar mencari Oliver, sampai cowok itu mengendus bauku dan sadar aku tengah mencarinya.

Seenggaknya hutan di belakang rumah Oliver bersih untuk ukuran hutan. Terlepas dari tanahnya yang naik turun dan gundukan sarang semut setinggi kursi dapurku, sebagian besar semak telah dibersihkan hingga membentuk jalan-jalan setapak.

Aku sudah berjengit seenggaknya tiga atau empat kali gara-gara dikagetkan tupai, sampai akhirnya tiba-tiba pundakku di tepuk.

Aku refleks menoleh dan dihadapkan dengan—wah, bukan Oliver!

Selama dua puluh tiga tahun hidupku, rekor ular terbesar yang pernah aku lihat adalah ular sanca kembang di kebun binatang. Ular itu seenggaknya sebesar betisku dan pengalaman dicekik olehnya sama sekali bukan sesuatu yang indah. (Memangnya ada ya yang namanya pengalaman indah dicekik ular?)

Yang kulihat saat ini adalah ... ekor ular, melambai di depan hidungku seperti sebatang gagang sapu lentur—hanya kalau gagang sapumu sebesar betis. Aku mendongak, mencari-cari pangkal ekor ini, menelusuri badan ular yang membelit pohon besar yang ada di kiriku, dan menelan ludah setiap kali diamaternya bertambah besar.

Hingga kemudian aku harus berbalik dan ... voila, aku bertatap muka dengan Oliver. Dia bersedekap dalam posisi terbalik. Pinggang ke atas adalah manusia dengan kaus polos yang aku kenal, pinggang ke bawah adalah badan ular cokelat gelap dengan motif yang niscaya bikin para penyelundup hewan eksotis tergoda untuk menculiknya

“Hai,” sapa Oliver.

“Hai, Oliver,” balasku.

“Mencariku?” tanya Oliver. Dia berkedip, matanya cokelat cerah dan menyenangkan mengetahui bahwa nggak ada pupil reptil yang menyeramkan.

Cowok itu bergerak mengalir naik sementara bagian bawah tubuhnya turun hingga menjadi gulungan besar, menopang tubuhnya seperti tumpukan ban batik raksasa. Bedanya, tumpukan ini dilengkapi jalinan otot hidup dengan energi entah berapa Newton.

Wujud ular ini menimbulkan kesan magis, kuno, dan agung padanya—akan lebih lagi seandainya dia menanggalkan kaus. Terutama karena sinar matahari, yang menyelinap di antara dedaunan hutan, menimpa Oliver hingga sisik ularnya mengilap.

Suaka MargagaibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang