Prelude: Renjana

1.6K 234 70
                                        

Setiap orang memiliki kebiasaannya sendiri, seperti Renjana yang suka sekali duduk diam di taman sembari melihat senja, entah untuk melihat betapa indahnya semburat jingga di cakrawala atau hanya karena ingin mengikuti trend anak indie. Entahlah tak ada yang tahu, bahkan sejujurnya Renjana juga tak tahu kenapa ia terus melakukan itu.

Angin menerpanya membuat tirai rambut panjangnya mengayun lembut, mengganggu sayang sekali dia tak membawa karet. Menyebalkan.

"Boleh duduk di sini?"

Seorang lelaki menghampirinya dan meminta ijin untuk duduk di kursi taman tempat Renjana duduk dan Renjana sendiri tak begitu keberatan toh kursi taman itu bukan miliknya, itu milik umum.

"Cuacanya cerahnya, enak kalo buat liat senja. Kamu suka senja juga?" Lagi-lagi Renjana berdehem, mungkin laki-laki itu ingin beramah tamah, kan warga Indonesia begitu.

"Sama dong kalo gitu, aku juga suka liat senja. Rasanya itu nyenengin banget."

Respon Renjana hanyalah mengangguk, sepertinya dia memang terlalu malas untuk menanggapi ucapan lelaki itu.

"Gue seneng banget bisa nemu orang yang sama-sama suka senja." Dalam hati Renjana menyuruh lelaki itu untuk mencari komunitas penikmat senja saja dibandingkan mengganggunya, polusi suara.

"Gue Mario, kalo boleh tau kamu siapa?"

"Mas Ren!" teriak seorang gadis yang berada di dekat warung bakso dekat taman.

"Mas?"

"Saya Renjana."

Seketika Mario itu mengalami mental break dance setelah mendengar suara macho Renjana. Ia pikir Renjana adalah anak gadis. Dia begitu cantik apalagi rambutnya yang panjang mengalahkan duta sampo, tapi ternyata suaranya menggelegar.

"Bangsat," umpat Mario langsung kabur dari sana meninggalkan Renjana yang hanya bisa menghela napas.

"Mas Ren! Sini!" Renjana memisahkan pantatnya dari kursi dan berjalan ke arah Asoka yang memanggilnya dengan heboh, padahal biasanya gadis itu tak pernah seperti itu.

"Ada apa Ka?" tanya Renjana pada Soka yang menggaruk-garuk rambutnya. Kemudian menyuruh Renjana mendekat agar ia bisa berbisik pada Renjana.

"Mas bawa uang nggak?" tanya Soka pada Renjana pelan.

"Bawa, kamu mau beli bakso?" Soka memberi tanda kepada Renjana untuk kembali mendekat agar ia bisa memberitahu kronologi mengerikan yang baru saja terjadi.

Hari itu Alexa mendapat nilai yang memuaskan berkat Soka yang membantu, dan sebagai gantinya Alexa berniat mentraktir Soka begitulah niat mulia Alexa. Hanya saja niat baik itu tak diiringi dengan penggunaan otak yang baik dan benar. Alexa tak membawa uang cash dan dia dengan bangganya menyodorkan kartu debit pada abang tukang bakso.

Hal itu tentu membuat Soka mempertanyakan apakah Alexa sebodoh itu atau dia sedang berusaha melawak. Kenapa bayar bakso pinggiran menggunakan kartu debit? Mau digesek dimana? Di panci?

Kemudian dengan segala kerendahan hati Asoka ditinggal sebagai jaminan sementara dia kembali ke rumah, sungguh persahabatan yang luar biasa indah.

"Gitu Mas ceritanya." Soka mengakhiri ceritanya, dan sebagai kakak Alexa, Renjana harus ikut bertanggung jawab.

"Anak itu bener-bener. Bentar ya." Renjana mengeluarkan dompet dan melakukan transaksi pembayaran untuk membebaskan Soka dari jaminan dua mangkok bakso dan es jeruk.

"Soka," panggil Renjana.

"Iya Mas."

"Kamu tadi nebeng Ale kan?" Soka mengangguk.

Girl Like HerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang