Perkataan adalah doa. Pepatah itu kini menghampiri Soka. Gadis itu sudah berpikir bahwa mungkin ia akan terkena demam karena berada di luar rumah dalam keadaan hujan dengan kurun waktu yang cukup lama. Hingga akhirnya dengan seijin Tuhan ucapan itu menjadi kenyataan.
Pagi di saat dia harusnya mengikuti banyak kegiatan, tubuh Soka panas bak air yang tengah mendidih. Gadis itu memang cukup lemah dalam bertarung dengan dingin.
Sakit ketika berada di perantauan membuat Soka menjadi sentimental dan merasakan kerinduan yang begitu mendalam pada ibunya. Ia ingin Soup jahe buatan ibunya, ia juga ingin elusan lembut di rambutnya seperti yang dilakukan ibunya kala ia sakit. Soka merindukannya.
Hanya saja Soka tahu bahwa satu kabar sakit darinya untuk sang ibu bisa membuat wanita separuh baya itu terbang dari Semarang ke Jakarta hanya untuk menjaganya. Hal itu tentu tak ingin dilakukan Soka. Ia tak ingin merepotkan ibunya ataupun orang lain, tapi keadaannya sekarang memaksa Soka untuk merepotkan orang lain dan orang lain itu adalah Alexa.
Soka terpaksa menelpon Alexa untuk meminta tolong dibelikan obat. Untuk sekarang Soka mungkin lebih butuh obat dibandingkan Soup jahe buatan Alexa yang hasilnya bisa membuatnya masuk rumah sakit lebih awal. Soka cukup beruntung karena Alexa dengan suka rela menyetujuinya.
Derit pintu menyapa pendengaran Soka, tapi gadis itu terlalu lemas untuk sekedar membuka mata dan memeriksa siapa yang datang. Lagi pula kemungkin besar yang datang adalah Alexa, jadi untuk apa dia susah payah membuka mata.
"Soka, bangun." Tidak, itu bukan suara Alexa. Suara Alexa tak selembut itu.
"Mas Ren? Kok di sini?" Susah payah Soka membuka mata untuk memastikan bahwa ini bukan salah satu halusinasinya ketika sedang terkena demam.
"Ale ngasih tau aku kalo kamu lagi sakit. Dia sekarang lagi beli obat." Tentu saja Alexa yang memberitahu Renjana mau dari mana lagi Renjana bisa tahu?
"Kamu kuat berdiri nggak?" Soka memberi tatapan bingungnya pada Renjana. Untuk apa dia berdiri saat badannya nyeri semua bahkan kepalanya terasa seperti ingin meledak.
"Kita pindah ke rumah aku biar aku lebih leluasa jagain kamu. Di sini kosan cewek, nggak enak kalo aku keluar masuk kosan kamu." Logika Renjana tak salah, tapi Soka yakin bahwa ia tak meminta Renjana untuk menjaganya, ia hanya meminta tolong pada Alexa.
"Mas Ren? Jagain aku?" Renjana mengangguk mantap.
"Alexa ada praktikum hari ini, jadi dia minta tolong sama aku. Lagi pula, aku khawatir kalo Alexa yang jagain kamu."
Bohong! Soka sangat hafal jadwal praktikum Alexa. Gadis itu sudah praktikum minggu lalu dan jelas bahwa ini adalah salah satu rencana si gadis berponi itu. Namun, poin kedua yang diungkapkan oleh Renjana ada benarnya, Alexa bukan perawat yang baik.
"Sekarang, kamu masih bisa berdiri nggak? Atau masih pusing?"
"Pusing." Soka tak berbohong, dunia rasanya sedang berputar hebat hingga sulit untuk menapakkan kaki ke lantai. Ia ingin tiduran saja.
"Maaf ya," ucap Renjana sebelum dia beranjak mendekat dan mengangkat tubuh Soka dengan sekali hentakan. Lelaki itu ternyata cukup kuat.
"Bisa tolong pegangan? Aku takut kamu jatuh."
Dengan ragu Soka mengalungkan tangannya pada leher Renjana. Kepalanya yang bersandar pada dada Renjana membuat gadis itu bisa mendengar dengan jelas dentuman jantung milik Renjana sedang menggila. Sayangnya gadis itu berpikir bahwa detak itu karena Renjana menggendong tubuhnya yang berat bukan karena tubuh mereka yang begitu dekat. Gadis itu memang tak mengerti tentang asmara.
"Kak Soka kenapa?" tanya Mega ketika Renjana sampai di teras tempat di mana Mega sedang menali sepatunya.
"Soka sakit. Permisi dulu Mega, tolong tutup pintu kamar Soka," jawab Renjana sekenanya, dia harus segera membaringkan Soka ke kasur, wajah gadis itu tampak memerah seperti sedang menahan rasa sakit. Setidaknya itu yang dipikirkan Renjana.