45 - Karma dan Kebohongan

48.2K 5.6K 730
                                    

Apa yang ingin Ivy bicarakan?

Setelah pertemuan mereka sebulan yang lalu, Rio benar-benar mengabaikan semua panggilan dan pesan dari Ivy. Bahkan ia tidak mau menemui Ivy ketika wanita itu mendatangi kantornya hingga akhirnya sudah dua minggu lebih Ivy tak pernah menggaduhinya lagi.

Sedangkan Mikha? Bukankah di antara mereka sudah berakhir?

Ujung-ujungnya, dirinyalah yang menjadi beban bagi semua orang. Ujung-ujungnya, ia hanya bisa menghindar dan melarikan diri dari dunia.

Bagaimana rasanya jadi pecundang?

Buruk?

Tentu saja, tetapi ia pernah merasa lebih buruk dari ini. Umpamanya benalu yang dibuang seperti sampah.

Lama-kelamaan semua ini terasa kian melelahkan.

Setiap ia berada di antara lalu-lalang orang dan kendaraan, Kota Jakarta terasa lebih sumpek dari biasanya, udara berpolusi terasa kian menyesakkan, terik semakin gerah, hujanpun tak lagi terasa menyegarkan. Satu-satunya yang ia sukai dari kota besar adalah sikap apatis dari penghuninya, setidaknya itu yang ia perlukan saat ini. Sebab, ia tak ingin berkabar.

Alasan Rio mengangkat panggilan Ivy pagi tadi adalah kasus yang menimpah mantan suami Ivy. Wanita itu mengajaknya bertemu siang ini dan Rio menyanggupinya.

Ketika Rio berdiri di depan rumah Ivy, tekadnya sudah bulat untuk memenuhi tujuannya datang ke sini. Ia ingin memperjelas segalanya ... bahwa Rio yang mencintai Ivy sudah tidak ada karena kisah mereka telah lama usang.

Ia ingin segalanya berakhir.

Segalanya ... apapun itu.

Saat Rio tiba, ia mendapati pintu pagar tidak terkunci dan pintu utama dalam kondisi terbuka sedikit. Entah Ivy sengaja membukanya atau memang kebiasaan wanita itu yang belum berubah sama sekali.

Kondisi butik Ivy masih sama seperti baru selesai di renovasi, rak display baju tampak kosong dan tiang-tiang maneken tanpa kepala yang semula di pajang sesuai desain layout, kini dijejer disudut ruang dan kini dibalut plastik transparan. Ivy sudah menempati rumah ini sejak akhir tahun lalu, tapi sepertinya tak ada tanda-tanda butik ini akan beroprasi dalam waktu dekat.

"Ivy...?" Rio mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Tak mendapati kehadiran Ivy, lantas ia berbelok menuju tangga. Kakinya yang baru terangkat naik langsung berpijak kembali ketika ia mendengar Ivy memanggil namanya dari arah belakang.

"Bastian..."

Gumpalan awan kelabu menyapa penglihatan Rio ketika ia melewati pintu belakang. Di seberang sana, Ivy duduk di tepi gazebo kayu dengan lengan bersandar di salah satu tiangnya. Ia hanya tertunduk lesu dengan pandangan mengarah pada daun-daun kering yang terseret angin di atas hamparan rerumputan yang tingginya tidak rata.

Berbeda dari yang Rio lihat terakhir kali, saat ini taman belakang rumah Ivy kondisinya tidak terawat. Kolam ikan di sudut taman tak lagi ada airnya, digantikan daun-daun kering yang meluncur nakal ke dalam sana. Sama halnya dengan tanaman-tanaman hias yang dibiarkan tumbuh begitu saja hingga beberapa di antaranya telah layu.

Rio menunggu reaksi Ivy, ia yakin wanita itu sadar akan kehadirannya. Tetapi Ivy tak bergeming, dia tenggelam dalam lamunannya tanpa mempedulikan hembusan angin yang sesekali mengayunkan rambut panjangnya hingga jatuh ke depan wajah.

Rasanya seperti melihat sosok Ivy Audrey Kim dua puluh dua tahun silam.

Kala itu, Rio kerap kali menjumpai Ivy duduk termangu di ayunan taman setiap kali ia pergi latihan taekwondo di tempat yang tak jauh dari rumahnya. Tak jarang ketika pulang ia masih mendapati Ivy duduk di sana sendirian padahal hari sudah petang.

PROPOSAL : Deposito 9 BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang