Rio melirik GPS di dashboard sembari memelankan laju mobilnya. Setelah yakin berada di titik yang tepat, segera ia memarkirkan mobilnya kemudian turun dari sana.
Siang tadi Rio berbicara pada bosnya perihal ia menerima tawaran Ivy Kim. Di luar dugaan, ternyata Arka langsung menyuruhnya survey lokasi sore ini juga. Dan di sinilah Rio, berdiri di depan pagar putih setinggi bahunya yang catnya sudah banyak mengelupas dan berkarat di beberapa bagian.
Rumah dalam lingkupan pagar putih itu terdiri dari dua tingkat bergaya victorian dengan dua pilar penyanggah atap serambi dan deretan jendela besar di bagian kanan dan kiri rumah tersebut. Seperti pagarnya, lapisan cat putih pada dinding rumah itu juga tampak usang, begitupun dengan rerumputan di pekarangan yang terkesan tidak terawat. Sepertinya rumah ini cukup lama tidak ditinggali. Tapi bagaimana pun juga, lokasi rumah yang berada di ujung pertigaan jalan sangat pas untuk dijadikan tempat usaha.
Saat ingin menggeser pagar untuk membukanya, Rio menyadari bahwa di ujung kanan ada pintu pagar yang sudah terbuka. Lantas ia masuk lewat sana. Ketika Rio berjalan di teras, ia mendapati pintu depan tidak tertutup. Refleks ia bergumam, "kebiasaan." Sialnya, ia sendiri terkejut dengan pemikiran itu.
Ya, kebiasaan itu.
Rio melangkah masuk. Hal pertama yang menyapa penglihatannya adalah ruangan kosong yang dindingnya terdapat bekas-bekas letak pigura. Ada dua kursi kayu di sana yang tampak tua, sepertinya pemilik terdahulu enggan membawanya. Rio menelusuri rumah itu, tetapi tak menemukan orang yang ia cari. Pendaran cahaya yang memenuhi ruangan membuat Rio mencari asal sinar itu. Ternyata selain jendela, di bagian belakang rumah terdapat pintu menuju halaman belakang. Ketika Rio melangkah keluar, mendadak tungkai kakinya berhenti.
Waktu sedang bergulir dalam golden hour, masa keemasan yang dipuja penikmat fotografi untuk membidik lanskap luar ruang. Tepat pada detik itu, lensa mata Rio sedang memotret sesosok wanita yang berdiri di tengah hamparan rumput liar. Saat tubuh wanita itu berputar ke arahnya, cakrawala senja seolah menjatuhkan sinar keemasan paling indah pada wajahnya yang sedang melepas senyum dengan begitu menawan.
Rio hanya bergeming melihat Ivy yang berjalan ke arahnya. Ia akui bahwa rambut panjang yang begelombang pada bagian bawah itu berayun sangat indah ketika Ivy berjalan, pun senyum yang merekah di bawah matanya yang berbinar cemerlang begitu menarik untuk dikagumi.
Tetapi kebencian terlajur menyesakkan nafas Rio. Bagaimana bisa Ivy berjalan begitu ringan kepadanya setelah semua hal yang telah mereka lalui? Bagaimana mungkin senyum yang tersemat di paras itu, masih sama seperti yang terbingkai dalam benaknya selama ini?
Ini begitu kejam, begitu sakit untuk lukanya.
Ia pernah melalui masa di mana ia rela memberikan seluruh dunianya pada Ivy, tetapi segalanya telah melebur jadi duka.
Hati Rio mendadak kebas ketika Ivy berhenti di hadapannya. Jujur saja, ia bingung harus bereaksi bagaimana. Apa seharusnya ia bersikap profesional saja dengan pura-pura berlagak memulai dari awal sebagai desainer interior tempat kerja Ivy? Atau justru sebagai teman lama yang baru bertemu? Atau sebagai seseorang dari masa lalu?
Rio mengulurkan tangannya dengan ragu-ragu. "Ivy, long time no see..."
Bukannya menjabat tangan Rio, Ivy malah merengkuh pinggang Rio dan memeluknya erat. "Bastian! Glad to see you again!" serunya ceria.
Rio tidak membalas pelukan Ivy, ia hanya membiarkan wanita yang hanya setinggi bahunya itu mendekapnya seerat yang dia mau.
Ivy melepas pelukannya kemudian menengadah menatap Rio. "Gimana kabar kamu, Bas? Aku dengar kamu udah sukses jadi interior desainer?" Tanyanya sambil mengamit lengan Rio dan menuntun pria itu memasuki rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
PROPOSAL : Deposito 9 Bulan
ChickLitCinta Mikha pada Rio bertepuk sebelah tangan selama 12 tahun, tapi ia tidak menyerah, ia berhasil menjerat pria itu agar tinggal bersamanya... meski status mereka belum berubah. Mikha masih tetap mengenaskan. "Mikha itu memang cantik, banker, keluar...