1 - One Side Love

193K 9.1K 407
                                    

Apa yang terbersit saat pertama kali mendengar kata proposal? Buku berjilid spiral untuk pengajuan sidang? Atau buku bejilid dengan sampul depan plastik yang dikirim ke instansi-intansi untuk meminta dana demi kelancaran suatu acara? Atau jangan-jangan ada yang mengaitkan proposal dengan hal-hal romantis seperti cincin, sekuntum mawar merah, dan seorang lelaki yang sedang berlutut seraya mengucapkan permintaan hidup bersama.

Sebenarnya, proposal adalah rancangan rencana yang dibuat untuk mendapatkan persetujuah pihak lain. Entah dalam skala besar seperti yang disebutkan pada kalimat sebelumnya atau dalam skala kecil dalam kehidupan sehari-hari yang kadang tidak kita sadari.

Seperti seorang pria berkemeja biru cerah yang sedang berdiri di dalam banking hall sebuah bank bernama Bank Sentral Nusantara atau yang biasa disingkat BSN. Aula yang didominasi warna biru-merah–yang memang merupakan ciri khas dari bank tersebut, terlihat lenggang tanpa adanya nasabah yang menunggu di deretan kursi di hadapan meja Customer Servis. Begitu pula dengan area teller yang mengusung antrian berdiri, hanya ada dua orang berbeda spesies yang berdiri di sana dan mereka bukan nasabah melainkan funding officer yang sedang melepas penat.

Pria dengan rambut terpomade rapi itu menyodorkan ponselnya pada perempuan berambut sebahu di sampingnya yang sejak tadi ikut menekuri ponsel demi menelaah berbagai video.

"Ini aja Mikh, gerakannya gampang dan nggak banyak woah-nya. Lo kan kalo woah kayak nenek-nenek encok jadi pilih tiktok yang ini aja. Lucu gitu gerakannya, gemesin juga," terang pria itu sambil menampilkan video tutorial tiktok.

Perempuan yang mengenakan blus merah muda dengan id card bertuliskan Mikha Seryl Wiriyanata itu mengeluarkan ekspresi masam. "Enak aja lo menghina woah gue. Justru badan gue itu lentur jadi kalo woah kayak goyang patah-patah anisa bahar!" tukasnya.

"Anisa bahar, banget ya, Mikh! Ketahuan banget tuanya elo! ahaha" tangan lelaki itu terangkat ke depan mulut dengan gerakan kemayu demi menutupi mulutnya yang terbuka lebar akibat tawa.

"Kampret emang lo, Jona!" umpat Mikha pada Jonathan.

Tak dipungkiri, pria kemayu di sampingnya itu memang tampan, tapi terlalu agar-agar untuk perempuan beringas macam Mikha. Ia sendiri lebih suka memangil Jonathan dengan sebutan Jona. Kalau Jona sendiri sih terserah saja, dia terima-terima saja dipanggil Jona, Nathan, Jessica, atau Jamilah sekalian, semua tergantung SSO alias "Suka-Suka Om".

"Jadi gerakannya gimana, nih?" tanya Mikha separuh memaksa.

"Gampang, lo ikutin gerakan gue dulu, deh." Jona menyandarkan ponselnya pada akrilik di atas meja teller. 

"Nih, gerakannya gampang banget kan, Mikh." Jona menggerakan tangan dan pinggulnya sesuai tutorial dance. "Tinggal goyang-goyang bergelombang, terus kepit-tahan-kepit-tahan di bokong sambil tangan lo kepak-kepak kayak ayam terbang."

Teller wanita yang tadinya sibuk menyusun slip voucher transaksi hari ini, hanya bisa geleng-geleng kepala melihat dua mahluk ajaib di hadapannya. Disuguhi tontonan gratis yang membuat mata berdarah sungguh seperti prolog siksaan neraka. Kemudian ia mencondongkan tubuh ke samping, mendekati teller laki-laki yang sudah kebal melihat kelakuan absurd dua dihadapannya. "Lo yakin dua mahluk di depan gue ini bener-bener orang? Bukan roh gentayangan?"

Teller bernama Indra itu hanya menoleh datar pada Gita lalu membuang napas lelah. "Yakin gue, mereka seratus persen orang ... orang gila," jawabnya pasrah.

Setelah satu jam Mikha bergoyang bersama Jona dan mengambil beberapa kali take, akhirnya mereka mendapatkan rekaman yang paling bagus.

"Jangan lupa nanti kirim ke telegram gue," pinta Mikha kemudian meraih hand bag-nya yang tadi ia letakkan di kursi nasabah paling belakang.

"Sip, ini gue edit dulu, malam gue kirim."

"Okedeh. Gue duluan ya, laper banget nih gue," ucap Mikha sambil berjalan menuju mesin absen. "Bye semuaaaa," pamitnya kemudian keluar dari gedung BSN.

Mikha membuka pintu mobil merahnya, menduduki bangku kemudi sambil memindahkan tas  ke kursi sebelah lalu menyalakan mesin.

Saat mobil itu bergerak maju, sebuah ID card yang mengantung pada tali berwarna biru gelap yang mengalungi leher spion di atas dasboard, begoyang pelan mengikuti gerakan mobil yang keluar dari area parkir Bank BSN.

Bukan, itu bukan ID Card Mikha...

Di bagian atas ID Card itu bertuliskan ARKANA DESIGN dengan foto seorang pria di bagian tengah dan sisi bawahnya dibubuhi nama Mario Sebastian Lugi.

Percayalah, tidak ada yang lebih menyakitkan ketimbang cinta sepihak selama 12 tahun dengan pria yang terpampang di ID Card itu. Menghabiskan waktu selama itu untuk cinta yang tak terbalas mungkin terdengar bodoh bagi sebagian orang, bukan mungkin lagi tetapi sudah-pasti-sangat-bodoh. Bukan sekali dua kali Mikha mendapat saran untuk melupakan Rio dengan berbagai alasan rasional, tapi tetap saja hatinya mencintai Rio meski irasional.

Bukannya ia tidak mau melepaskan cintanya pada Rio, ia hanya tidak bisa.

Sudah banyak cara ia coba, mulai dari berhenti stalking media sosial Rio, tenggelam dalam tangis akibat patah hati dan mengutuk agar Rio tenggelam di laut saja, bahkan ia sampai memohon-mohon pada Sang Pencipta supaya hati dan pikirannya dapat melupakan Rio, atau bila perlu enyah saja pria itu dari hidupnya.

Tapi hasilnya apa? Malah ia yang depresi berat. Sialnya lagi, saat ia berhenti memaksakan diri untuk melupakan Rio, dirinya malah mendapat kebahagiaannya kembali. Mikha sudah menyerah untuk melupakan Rio, ia mencandui pria itu dan memutuskan untuk terus menikmatinya meski dengan tetesan racun paling mematikan sekalipun.

Alasan ID Card Rio bisa tergantung di spion tengah, tentu saja bukan karena Rio berbaik hati memberinya.

"Tuh anak sih kalo ngeliat gue langsung kabur, padahal gue cantik kayak Suzy gini." Itulah alasan yang sering Mikha lontarkan setiap ada yang tanya hubungannya dengan Rio.

Bisa ditebak, keberadaan ID Card itu karena Mikha yang menjelma jadi maling. Kala itu dia tak sengaja bertemu Rio di Café milik suami sepupunya, langsung dirogohnya tas Rio untuk mengambil ID Card yang memang sudah di incarnya. Tujuannya adalah menjadikan ID Card itu sebagai jimat di mobilnya, untung saja sampai sekarang Rio tidak tahu bahwa Mikha pelakunya.

Bukan tanpa alasan Mikha melakukan itu, dulu sewaktu mahasiswa dompet Mikha sering kosong melompong, tapi sejak ia menyisipkan foto Rio di salah satu kantong dompet yang transparan, dompet dan rekeningnya tak pernah sepi persis seperti tas ibu-ibu sehabis pulang arisan– alias banyak isinya. Sebab, setiap ia mau mengambil atm untuk tarik tunai atau uang untuk jajan, ia selalu melihat foto Rio dan teringat kalau lelaki itu tak suka wanita boros. Alhasil ia selalu menutup lagi dompetnya agar bisa jadi wanita idaman Rio.

Sejak Mikha membeli mobilnya setahun lalu, entah sudah berapa kali ia hampir tabrakan, mulai dari gerobak sayur sampai gerobak ayam pernah menjadi bakal korban karena Mikha sering mengemudi ugal-ugalan. Tapi sejak ada ID Card Rio, ia tidak pernah mengalaminya lagi. Bukan karena Rio yang tidak suka cewek jamet, tapi karena kalau dia ngebut terus wafat karena kecelakaan dan ujung-ujungnya Rio menikah dengan wanita lain, bisa jadi hantu gentayangan dia. Sungguh Mikha tak rela.

Saat Mikha mengantri untuk mengisi bahan bakar, ia mengambil ponselnya dari dalam tas kemudian menekan speed dial nomor Rio.

Panggilan pertama tidak diangkat.

Panggilan kedua tidak diangkat.

Panggilan ketiga berbunyi, "Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan."

Mikha bergumam kesal sambil menatap layar ponselnya. "Awas aja ya, kalo ketemu gue langsung gue cium!"

__TBC__

Add library dulu yuk, di like ya. thank youuu

Nicazalias

(7/12/20)

PROPOSAL : Deposito 9 BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang