Ternyata sekarang kita di sini. Berpijak pada tempat yang sama. Melewati sebuah garis awal dan berjalan beriringan sampai di garis akhir.
Suara bersin sudah terdengar lebih dari tiga kali di dapur. Seorang wanita paruh baya yang mendengar itu lantas tertawa renyah. Menatap seorang perempuan yang tak lain adalah menantunya.
"Kan, tadi Umma bilang, biar Umma aja. Bersin-bersin, 'kan, jadinya?"
Perempuan itu memberikan senyum kuda, lalu menjauhi kompor saat hidungnya terasa seperti digelitik. "Umma, tolong." Kemudian, suara bersin kembali terdengar. Umma kembali tertawa dibuatnya.
Arsya, perempuan yang biasa dipanggil Caca itu mencuci tangannya, lalu membasuh hidungnya yang benar-benar gatal karena sambal. Iya, dirinya sedang menggoreng sambal, padahal sudah dilarang oleh Umma, akan tetapi ia kekeh. Hasilnya seperti sekarang, bersin-bersin.
"Kamu susun makanan aja di meja, ya. Goreng sambal biar urusan Umma. Hidung Umma mah udah kebal," kata Umma.
Caca mengangguk patuh dan memindahkan makanan yang ada di atas pantry ke meja makan. Di sana hanya ada ia dan Umma, dua orang yang lain masih berada di kamar masing-masing.
Setelah menyusun makanan di meja, Umma juga selesai dengan sambal gorengnya. "Kamu panggilin abang, ya. Umma mau panggil Tisya," ucapnya pada Caca.
Caca langsung melangkah menuju kamarnya. Sosok 'abang' yang disebut oleh Umma adalah suaminya. Yang tak lain adalah ...
... Afkar.
Caca mengetuk pintu kamar Afkar yang menjadi kamarnya juga, kemudian memasukinya. Suara air dari kamar mandi terdengar, itu artinya Afkar sedang mandi. Selagi menunggu, Caca membereskan tempat tidur. Selimut, bantal dan guling sudah tidak berada di tempat semula.
Sesudahnya, Caca mendekat pada pintu kamar mandi. Ia mengetuk pintu itu setelah menarik napas dengan dalam. Kegugupan selalu saja menyerang bila akan berbicara dengan Afkar. Entah mengapa, yang jelas, suara berat milik lelaki itu mampu membuatnya jadi berdebar sendiri, meskipun tidak bertatapan langsung.
"A-abang udah bawa baju ganti?" Caca bertanya, lalu mengulum bibirnya sambil memegangi dadanya yang berdebar. Menunggu jawaban Afkar.
Panggilan Abang yang Caca sematkan untuk Afkar itu saran dari umma, sedangkan kata Esha, ia bisa saja memanggilnya dengan sebutan Mas. Karena Caca masih malu memanggil Afkar dengan sebutan Mas, maka ia memilih saran dari umma, yaitu Abang. Afkar sendiri tidak mempermasalahkan. Tidak tahu kalau di hati yang sebenarnya seperti apa, Caca tidak bisa menebak itu.
Suara air tidak terdengar lagi. "Kenapa? Nggak denger," kata Afkar.
"Abang udah bawa baju ganti atau belum?" Caca mengulang pertanyaan dengan suara sedikit dibesarkan.
"Udah."
"Habis mandi, makan." Caca masih berdiri di depan pintu.
"Iya."
"Masih lama, nggak?"
Caca tidak tahu jika di dalam sana Afkar sudah tersenyum. Mendengar suara Caca saja berhasil membuat lelaki itu merasa sejuk, apalagi ditambah dengan sikap Caca yang baik. Mau menjalankan tugasnya sebagai istri. Nilai plus perempuan itu bertambah di matanya.
Di tempatnya, Caca menunggu Afkar karena pertanyaannya tidak dijawab. Ia berdiri memunggungi pintu. Menunduk, menatap celana panjang rumahannya. Ia sudah mandi, tepat sebelum salat Subuh tadi.
Pintu kamar mandi dibuka. Caca refleks memutar tubuh dan langsung berhadapan dengan Afkar yang memakai kaus abu-abu dan celana pendek selutut. Menggosok-gosok rambut dengan handuk kecil yang ada di tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelabuhan Hati
RomanceMungkin, perlakuan saja tidak cukup untuk menunjukkan sebuah rasa yang begitu dalam. Ada kalanya lisan yang harus maju. Mengungkapkan pernyataan sederhana yang dinanti sejak awal. Namun, untuk beberapa orang-orang yang sulit mengungkapkan perasaan...