Sebulan lalu, ketika Afkar datang dengan Umma dan Tisya ke kediaman Akbar, Caca tidak pernah mengira jika malam itu akan menjadi malam awal dari langkah kisahnya dengan Afkar.
Afkar mengkhitbahnya.
Ah, bukan.
Akan tetapi, Umma yang meminang Caca untuk menjadi menantunya.
Setelah Afkar lulus kuliah dan bekerja di perusahaan milik almarhum abahnya, Umma menetapkan keputusan untuk meminang Caca menjadi istri Afkar.
Afkar bercerita jika ia sudah lama menyukai Caca, bahkan saat mereka masih sama-sama ada di bangku SMA. Hanya saja, perasaan itu memang tidak pernah diutarakan lewat lisan. Afkar tidak bisa untuk melakukan itu.
Memang, mungkin itu terlalu sepele. Atau bahkan Afkar akan dicap sebagai pengecut oleh manusia satu kaumnya. Namun, ia tidak peduli. Tak terucap bukan berarti tak merasakan. Masih ada tindakan yang akan mewakili, pikirnya.
Afkar dan Caca sudah lama tidak bertemu. Terakhir kali mereka bertemu saat kelulusan SMA Caca. Di mana Afkar datang dan mengambil kembali gelang yang sempat ia berikan pada perempuan itu.
Hari itu, Afkar datang dengan ketiga temannya. Memakai celana jeans panjang, kaus hitam yang dibaluti oleh kemeja flanel berwarna abu-hitam tanpa dikancing. Tas ransel kuliah tersampir di bahu kirinya.
Untuk pertama kalinya, Caca mengakui jika Afkar memang benar-benar tampan. Potongan rambut lelaki itu sempurna rapi. Tatapan dan ekspresi wajahnya tidak berubah. Langkah kaki yang mantap selalu memberi kesan wibawa yang kuat.
Suasana sekolah saat itu ramai. Semua sibuk dengan urusan masing-masing. Caca dan teman-temannya memilih untuk duduk di bangku panjang koridor kelas, tepat di hadapan mereka ada lapangan.
Dari arah seberang, keempat laki-laki alumni sekolah itu berjalan. Caca menatap lurus mereka. Perlahan, jantungnya berdebar gila. Tanpa sadar ia bernapas lebih cepat dari biasanya.
Caca masih ingat betul waktu itu Afkar akan mengambil kembali gelang miliknya ketika hari kelulusannya tiba. Dan sekarang, adalah waktunya.
"Selamat buat kalian, akhirnya lulus SMA juga, ya!" Misbah berucap ketika sampai di hadapan Caca dan teman-temannya.
Dika, Raihan dan Haikal mengangguk semangat. Wajahnya sangat cerah bukan main. Sementara Gigi hanya bisa mengangguk malu, dan Caca tersenyum, menutupi kegugupannya karena di depannya ada Afkar yang berdiri.
"Makasih, Kak," kata Raihan. "Gue juga nggak nyangka bisa lulus."
"Otak lo masih ada, makanya bisa mikir pas ujian, terus sekarang lulus!" Haikal menyahut.
Mereka berbincang tidak lama. Jelas mereka saling mengenal karena Raka dan Misbah mengenal Caca. Setelah itu, mereka meninggalkan Caca dan teman-temannya. Menyisakan Afkar yang masih diam, berdiri di depan Caca.
Berdeham sejenak, Afkar menunduk untuk menatap gadis itu. "Arsya, ikut gue, bisa?"
Caca mendongak, lalu mengangguk kaku. Afkar menoleh pada teman-teman Caca. "Selamat buat kalian. Semangat kuliah," ujarnya, masih dengan aksen datar. Selalu begitu.
Afkar berjalan lebih dulu, lalu diikuti Caca. Raihan dan Haikal memekik heboh setelah mereka pergi. Membuat Dika menggeleng tak habis pikir.
"Datar banget, woi!"
"Untung kagak dijudesin," kata Dika.
Gigi menyandarkan tubuh ke tembok belakang. "Caca mau diapain, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelabuhan Hati
RomanceMungkin, perlakuan saja tidak cukup untuk menunjukkan sebuah rasa yang begitu dalam. Ada kalanya lisan yang harus maju. Mengungkapkan pernyataan sederhana yang dinanti sejak awal. Namun, untuk beberapa orang-orang yang sulit mengungkapkan perasaan...