09. Bubur Kacang

624 121 29
                                    

Sejatinya perasaan yang benar-benar nyata adalah dia yang berani mengungkapkan, lalu mengikat. Bukan memberi janji manis, dan akhirnya hanya berujung tangis.
-Pelabuhan Hati-

Tepat setelah Afkar lulus kuliah, ia memutuskan untuk mendatangi sebuah rumah yang sudah lama sekali tak ia jumpai. Sudah hampir empat tahun pintu berwarna cokelat itu baru ia tatap lagi saat ini. Detik ini, sendirian dengan keberanian dan tekad yang bulat.

Setelah menekan bel, Afkar menarik napasnya dalam-dalam. Menetralkan detak jantungnya yang cepat. Melirik jam tangan di pergelangan tangan kanannya, pintu cokelat itu terbuka. Muncul seorang wanita yang ia ketahui ibu dari teman adiknya. Sekaligus kakak dari perempuan yang menjadi alasannya untuk datang ke rumah ini.

"Maaf, siapa, ya?"

Afkar tersenyum tipis dan menunduk sopan. "Saya kakaknya Tisya, temannya Azhar, Mbak."

Wanita itu yang tak lain adalah Esha langsung membulatkan bibirnya. "Kakaknya Tisya, rupanya. Ayo, masuk. Ada perlu sesuatu 'kan? Ngobrol di dalam aja, ayo!"

Afkar mengikuti Esha. Ini kali pertama ia melihat isi rumah yang Caca tempati, meski ini bukan rumah milik keluarga perempuan itu. Ini adalah rumah milik suami kakak Caca, Akbar.

Setelah menyuruh Afkar duduk di sofa ruang tamu, Esha ingin membuatkan minum, akan tetapi Afkar mencegahnya lebih dulu.

"Emm ... Mbak? Saya sebenernya ada perlu sama suami Mbak. Atau wali dari adik Mbak, Arsya," ucap Afkar.

Esha mengernyit, kebingungan. Ia duduk di sofa yang berseberangan dengan tempat duduk Afkar. Menatap lelaki itu lamat-lamat. "Kamu kenal Caca? Kok bisa? Kalian dekat? Punya hubungan sesuatu atau ...." Pertanyaan itu menggantung.

"Atau apa, Mbak?"

"Kalian pacaran?!" Esha melotot.

Afkar menggeleng tegas. "Nggak. Sama sekali nggak." Ia jadi khawatir sendiri kalau Esha salah paham. Bikin jantungan saja.

Esha terdiam. "Oh, nggak, ya?" gumamnya, kemudian beranjak. "Ya udah, tunggu dulu saya panggil suami dan mertua saya karena jika menyangkut Caca, mereka yang turun tangan langsung. Sebentar ya."

Berhadapan dengan dua orang laki-laki sekaligus? batin Afkar.

Afkar menenangkan detak jantungnya dengan cara menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Sesekali berdeham untuk mengurangi rasa gugup yang menyelimuti dirinya.

Tak lama kemudian, dua orang laki-laki dewasa berbeda usia berjalan mendekat. Afkar sontak berdiri dan mencium tangan keduanya. Saat mencium tangan pria paruh baya yang pernah bertemu dengannya dulu, bahunya ditepuk dua kali.

"Kayaknya muka kamu nggak asing di mata saya?"

Afkar tersenyum tipis. "Dulu, saya pernah ke sini dan bertemu Kakek," ucapnya.

Pria itu—Kakek Fadil—terkekeh. "Oh ... iya, temannya Caca, 'kan?"

Afkar mengangguk. "Sekaligus kakaknya Tisya, teman sekolah Azhar."

"Jadi, kamu kakaknya Tisya?" Kali ini Akbar yang bersuara setelah mereka duduk di posisi masing-masing.

"Iya, Mas."

"Ada perlu apa ke sini?" Kakek Fadil bertanya saat Esha datang membawa minuman dan duduk di samping Akbar.

"Saya ..." Afkar sungguhan gugup. "... ada yang mau saya katakan. Ini bukan soal Tisya dan Azhar, tapi tentang saya. Alasan kenapa saya datang ke sini karena Arsya."

Pelabuhan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang