03. Ayo, Kencan!

681 129 13
                                        

Semua takdir Tuhan itu nikmat dan berlimpah. Jika kamu tidak merasa demikian, maka perbanyaklah bersyukur. Matamu buta dan jiwamu mati rasa akan kenikmatan Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam perjalanan pulang, Caca melipat kedua kaki yang dinaikkan ke kursi. Di atasnya terdapat papan dada yang menjepit kertas mewarnai bergambar lumba-lumba yang hidup di bawah laut dengan para teman-temanya. Krayon ia taruh di dasbor. Sesekali mengobrol dengan Afkar yang sedang menyetir.

"Oh, iya, aku lupa bilang." Caca mendongak dan menoleh pada Afkar. "Kata Mbak Esha, besok hari libur Adel mau dititipkan ke kita. Nggak papa, 'kan?"

"Boleh." Hanya itu dengan anggukan singkat.

"Soalnya, Mbak Esha sama Mas Akbar mau kondangan. Kalau dititipkan ke Kakek Fadil, takut kewalahan, kadang Adel suka rewel gitu. Terus kalau mau dititipkan ke adiknya Mas Akbar itu mereka sibuk sendiri. Jadi, ya dititipkan ke aku sama Abang," papar Caca menjelaskan, meski tanpa diminta.

Afkar menoleh sejenak sambil memutar setir ke arah kiri. "Azhar?"

"Ikut kita juga, nanti main sama Tisya."

Afkar mengangguk. "Ya udah."

Lalu, Caca kembali fokus pada gambar yang sedang ia warnai. Di dalam mobil hanya terdengar suara dari lagu yang sedang terputar di radio. Baik Afkar ataupun Caca sama-sama bungkam. Memilih untuk menikmati fokus masing-masing.

***

Pukul sepuluh pagi, Azhar dan Adel diantar ke rumah Afkar oleh orang tuanya. Caca yang semangat karena Adel akan datang itu menunggu di teras depan. Bermain congklak bersama Tisya.

Ketika Adel sudah datang, posisi Caca diganti oleh Azhar yang menyerobot ingin main congklak. "Udah, Kak Caca sama Adel aja, biar aku yang ngalahin Ntis." Begitulah Azhar memanggil Tisya, Ntis.

Caca membawa Adel ke kamar. Umma sedang pergi ke supermarket bersama Afkar. Mungkin sebentar lagi sudah pulang.

"Adel udah makan belum?"

"Dah!"

Adel yang ada di gendongan Caca tampak anteng. Anak itu sangat berbeda dengan abangnya, Azhar, berbeda juga dengan sang ayah, Akbar. Mungkin, sifat Adel ini lebih dominan ke sang ibu, Esha. Tapi tidak tahu kalau sudah besar nanti, bisa saja berubah.

Sampai di kamar, Caca mendudukkan Adel di atas tempat tidur. Menaruh tas berisi keperluan Adel di atas meja rias, lalu mulai melepas sepatu yang membungkus kaki mungil Adel. Ia juga melepas kerudung gadis itu.

"Adel jangan rewel, ya. Papi dan Mami Adel nggak akan lama kok perginya."

Adel mengangguk paham. "Muh," katanya.

Caca langsung mengerti. "Mau susu atau air putih?"

"Etih."

Caca beranjak dan mengambil botol air yang ada di dalam tas Adel. Kemudian ia menyerahkan botol dot berisi air putih itu pada Adel. Selagi Adel menyesap dotnya, ia mengusap rambut gadis itu dan merapikannya.

Ketika Adel menjauhkan dot dari mulut, gadis itu memberikannya pada Caca. Sudah selesai minum. Caca meletakkan dot itu di atas nakas dan mengambil kotak mainan milik Adel yang ada di bawah tempat tidur. Tempat mainan Adel yang ia simpan-kalau-kalau Adel main dan membutuhkannya. Mainan masak-masakan.

"Main di bawah aja, ya. Yuk, duduk di karpet."

Adel turun dari tempat tidur dibantu oleh Caca dan berjalan ke arah karpet bulu yang ada di bawah kaki tempat tidur. Cara berjalan Adel masih terbilang pelan dan sangat hati-hati karena gadis itu memang baru bisa berjalan ketika usia satu tahun lebih dua bulan.

Mereka memulai permainan. Adel tampak lihai memasak, padahal di atas penggorengan mainan itu tidak ada apa-apa, hanya ada angin saja. Iya, masak angin barangkali.

Caca ikut bermain. Berpura-pura membeli makanan atau minuman, lalu Adel yang melayani. Hingga beberapa menit kemudian, pintu kamar terbuka. Muncul Afkar dengan satu kantung plastik entah berisi apa.

Adel mendongak, lalu tersenyum lebar. Sontak gadis itu berdiri dan berlari menuju Afkar. "Bang!" pekiknya.

Afkar dengan senang hati berjongkok dan membuka kedua tangannya lebar-lebar. Menyambut gadis kecil itu ke dalam pelukannya. "Halo, Adel," sapanya.

Adel memeluk leher Afkar dan menaruh kepalanya di dekat bahu. Bersandar nyaman di sana. Caca terkekeh melihat Adel yang selalu seperti itu jika bertemu dengan Afkar. Entah mantra apa yang mujarab yang sudah Afkar pakai, yang jelas Adel begitu menyukai lelaki itu. Padahal, pada pertemuan pertama, tatapan Afkar tidak berbeda, hanya perkataannya saja yang lembut pada anak kecil, mungkin karena itu Adel jadi menyukainya.

Afkar berjalan mendekati Caca, lalu duduk di samping perempuan itu. Ia menaruh kantung plastik sambil memangku Adel. "Buka aja," ucapnya pada Caca.

Caca membuka kantung itu dan melihat isinya. Ada beberapa cup puding rasa buah, biskuit bayi, dan susu kotak. Ia kemudian menoleh pada Afkar yang asyik mengusap kepala Adel, sesekali mengecupnya lembut.

"Umma lagi ngapain?"

"Nemenin Azhar sama Tisya di depan."

Caca mengangguk paham. "Ini buat Adel semua?" Ia menunjuk kantung plastik. "Tadi, aku mau nitip sesuatu, tapi lupa."

Afkar menoleh. Kedua tangannya sedang dimainkan oleh Adel yang duduk di pangkuannya. "Apa?"

"Pem-" Caca dengan cepat membungkam bibirnya. "A-anu, pembersih muka. Cuci muka maksudnya," tuturnya gugup. Hampir keceplosan. Rasanya masih aneh menyebut barang yang ia maksud pada suaminya sendiri.

"Bukannya kamu stok? Di kamar mandi masih ada 'kan?"

"Dikit lagi mau habis." Untung menghilangkan rasa gugupnya, Caca mengambil puding rasa strawberry dan biskuit untuk Adel.

"Puding buat kamu, jangan kasih ke Adel," ucap Afkar.

"Kenapa?"

"Buat orang dewasa. Batita nggak boleh makan. Kasih biskuitnya aja."

Caca mengangguk patuh, lalu menyuapi Adel biskuit karena tangan gadis itu kotor, sementara pudingnya ia taruh lagi dalam kantung. Lebih fokus menyuapi Adel daripada diri sendiri.

"Sya ...."

Caca mendongak. Suara berat, tapi lembut itu memanggilnya dengan panggilan yang tak pernah berubah sedari dulu. Entah alasannya apa, yang jelas ia tidak mempermasalahkan itu. Yang penting Afkar nyaman dan suka. Takkan menjadi masalah untuknya.

"Iya, Bang?"

"Malam nanti ... mau keluar?" Afkar kemudian berdeham. Menahan rasa gugupnya.

"Keluar ke mana?"

Afkar menatap lekat mata Caca. "Jalan-jalan. Keliling kota. Kamu ... mau?"

Tanpa menunggu lama, perempuan itu mengangguk dengan bibir yang menyungging senyum. "Mau," jawabnya.

Lalu, Afkar melarikan telapak tangannya ke kepala Caca. Mengusapnya pelan dengan senyum tipis yang ada di bibirnya. "Ayo, kencan nanti malam!"

Rasa hangat dalam hati. Perut yang menggelitik, serta pipi yang memanas, berhasil membuat Caca merasakan kebahagiaan. Ini kali pertama setelah resmi menikah, Afkar mengajaknya berkencan.

Entah kencan apa yang dimaksud lelaki itu, yang jelas Caca senang mendengarnya.

***

Yhaaa mereka kencan, kalian nggak, jomblo sih🤣

Gimana? Part Kencan nanti mau gimana? Wkwkwkwk

Boleh lah ya minta vote nya lebih dari 50 lagi🥰🙈 komennya yang banyak dung biar aku semangkul, alias semangat kuli 🤣

Subang, 28 Maret 2021

Pelabuhan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang