02. Pernikahan

903 135 22
                                    

Area 15+, bagi yang belum cukup umur, skip. Yang udah cukup, skip juga boleh di bagian akhir.

***

Flashback hari pernikahan dan seminggu setelahnya.

Mereka memang sudah menikah. Lebih tepatnya sebulan lalu melaksanakan sebuah pernikahan yang lebih didominasi oleh datangnya teman-teman Afkar dan Caca. Tanpa melaksanakan resepsi yang besar, mereka telah resmi menjadi sepasang suami-istri hari itu.

Di sebuah rumah sederhana yang lama sekali tak ditempati, Afkar melantunkan sebuah kalimat sakral sekali dalam masa hidupnya. Rumah sederhana yang amat berarti bagi istrinya, Caca.

Atas permintaan Caca, perempuan itu ingin melaksanakan pernikahan di rumah yang pernah ditempatinya bersama sang kakak, Esha. Sejak kecil ia berada di sana sampai akhirnya Esha menikah dan dirinya ikut bersama kakaknya.

Rumah itu akhirnya tidak ditempati siapa pun, hanya dibersihkan oleh orang suruhan Akbar seminggu sekali agar tetap terawat. Maka dari itu, ketika Caca main ke sana, rumah itu tetap bersih. Letak barang-barang di dalamnya tidak berubah.

Karena dirasa bisa menyanggupi kemauan Caca, akhirnya Afkar setuju, diikuti yang lain.

"Mbak," panggil Caca pada Esha yang baru saja memasuki kamarnya bersama Adel, adik Azhar, yang berusia satu tahun lebih.

Adel mengedip beberapa kali karena terpana melihat wajah Caca. Anak itu merasa asing dengan sosok Caca padahal merasa kalau dirinya pernah melihat Caca.

Caca tertawa melihat wajah Adel yang kebingungan.

"Kenapa, Ca?" Usai mendudukkan Adel di atas tempat tidur, Esha menyahut.

"Mbak nggak akan ke mana-mana lagi, 'kan, habis ini? Acaranya masih lama atau nggak?"

Esha menggeleng. "Nggak lama lagi, makanya Mbak ke sini buat nemenin kamu. Lagian, bentar lagi Gigi mau nyusul ke sini katanya, tadi masih ngobrol gitu sama temen kamu yang lain di depan," paparnya.

Caca yang tadi mengelus pipi Adel itu kini menatap Esha. "Mbak ..." Ada jeda sebentar, lalu melanjutkan, "... semuanya pasti mudah untuk dijalani, 'kan?"

Adel diangkat ke pangkuan sang ibu. Esha merangkul Caca. Adiknya sudah besar. Adik yang layak disebut sebagai anaknya itu sebentar lagi sudah berpindah tanggung jawabnya. Bukan sepenuhnya menjadi tanggung jawab ia dan Akbar lagi, akan tetapi suaminya.

Perjalanan hidup mereka terlalu pedih bila diceritakan. Kekurangan kasih sayang orang tua, hidup serba berkecukupan, harus terus bahagia, jangan banyak mengeluh, dan lain sebagainya sudah mereka rasakan dan lewati. Pahitnya kehidupan yang memaksa untuk bertahan, membuat mereka sadar, bahwa yang di dunia ini hanya titipan. Tuhan bisa saja mengambilnya kapan pun, tanpa bisa diduga dan ditolak.

"Dari awal ini keputusan kamu. Mbak nggak ada maksa atau dorong supaya kamu terima lamaran Afkar, begitu juga Mas Akbar. Kami cuma mau yang terbaik buat kamu. Apa pun keputusan yang kamu ambil, pasti kami dukung," ucap Esha. "Nggak ada masalah yang enak buat dilalui, Ca, begitu juga masalah dalam sebuah rumah tangga."

Esha kemudian bertanya, "Sekarang kasih tahu Mbak alasan yang paling kuat kenapa kamu terima lamaran Afkar waktu itu?"

Perlahan, namun pasti semburat merah itu muncul di pipi. Bukan karena blush on yang terlalu tebal, tapi karena malu ditanya dan akan menjawab seperti itu oleh kakaknya sendiri.

"Ya ..." Caca berusaha mencari gambaran lain untuk jawabannya. "... Mbak juga kenapa bisa nikah sama Mas Akbar?"

Esha terkekeh melihat adiknya yang malu untuk mengakui alasan sebenarnya. "Yang jelas karena dia satu-satunya laki-laki yang sabar sama Mbak. Dan yang lebih penting karena Mbak benar-benar merasa telah dicintai dengan baik."

Pelabuhan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang