Kediaman Afkar didatangi oleh segerombol manusia berjumlah empat orang. Tamu dari Caca itu mengisi keramaian rumahnya, apalagi kelakuan ketiga orang laki-laki yang tak berubah. Mereka adalah Dika, Raihan dan Haikal. Gigi juga ikut.
Kemarin, Caca meminta izin pada Afkar jika teman-temannya ingin berkunjung ke rumah. Tadinya Caca mengusulkan untuk bertemu di luar saja karena takut mengganggu umma, namun Afkar mengatakan jika lebih baik di rumah saja, apalagi ada laki-lakinya.
Afkar sampai mengambil jadwal setengah hari di kantor hanya karena itu. Entahlah, ia merasa sedikit tidak nyaman ketika teman Caca bertemu perempuan itu. Ada sudut hatinya yang tersentil ketika melihat kedekatan mereka dari zaman SMA sampai sekarang.
Dan di sinilah mereka berkumpul. Di ruang tamu rumah Afkar dengan makanan dan minuman ada di atas meja. Umma yang tidak mau mengganggu, melipir ke kamar, memilih istirahat setelah diberi peringatan dari Afkar untuk jangan sampai kelelahan.
"Demi apa, sih, skripsi gue mentok di bab itu-itu aja. Bayangin! Gimana nggak mumet nih sirah!" Raihan memegangi kepalanya dramatis. Langsung mendapatkan toyoran ringan dari Haikal.
"Mikirin skripsi aja mumet, giliran hafalin nomor operator sama perempuan famous kampus aja seratus persen sehat sentosa! Ngaco lo, ya!" kata Haikal.
Raihan tersenyum kuda. "Beda aliran, tolong jangan disatukan."
Haikal lama-lama mangkel. "Iya, skripsi aliran air sungai, jernih. Kalau itu anak famous aliran air got, butek!"
Caca tertawa, mereka memang tidak pernah berubah. Sedangkan Gigi dan Dika mulai bosan melihat kedua temannya selalu ribut. Sementara di tempatnya duduk Afkar mencolek lengan Caca, dan mendekatkan tubuh untuk membisikkan sesuatu.
"Aku mau ke kamar. Bilang ke mereka pulang sebelum Magrib. Kalau ada apa-apa, panggil aku aja."
Caca mengangguk patuh.
Afkar kemudian pamit pada teman-teman Caca yang langsung mendapati anggukkan dari mereka, apalagi Raihan yang tampak semangat karena ingin bertanya sesuatu pada Caca, namun tidak ingin Afkar mengetahuinya.
"Eh, Ca, Ca!" Raihan mengusap kedua tangannya. "Gue mau tanya dong."
Dika langsung merasakan sesuatu yang tak enak. Ia menatap Raihan dengan tatapan memperingati. Temannya yang satu itu memang kadang tidak waras, lebih parah dari Haikal.
"Tanya apa, Han?"
"Han, awas lo ya!" Dika menyela sebelum Raihan bertanya yang tidak-tidak.
Raihan mengibaskan tangannya. "Slow, Bang, ini pertanyaan yang diajukan pada orang yang baru nikah pada umumnya." Nah, 'kan? Sudah pasti menjerumus pada ....
"Ca, lo udah ada tanda-tanda hamil belum?" Raihan tersenyum lebar. "Gue mau, dong, punya ponakan! Ih, gemoy!"
Dika menghela napas. Haikal tertawa melihat wajah merah Caca, ditambah dengan ekspresi perempuan itu tampak terkejut. Gigi tidak segan melempar remote tv pada Raihan, mengenai kepala lelaki itu.
"Sakit, Gi!"
"Mulut lo ya, astaghfirullah bocor banget!" Gigi mendelik.
Sembari mengusap kepala, Raihan membela diri sendiri. "Dih, apaan! Orang gue tanya itu doang, kok."
"Itu doang-itu doang, pala lo benjol!" kata Dika.
"Iya, ini udah benjol, Dika!" Raihan mangkel sendiri.
Sementara itu, Caca berdeham pelan untuk menutupi rasa malunya. Ditanya soal tanda-tanda kehamilan oleh temannya sendiri, membuatnya malu. Sungguh ... membicarakan perihal anak dengan Afkar saja belum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelabuhan Hati
RomanceMungkin, perlakuan saja tidak cukup untuk menunjukkan sebuah rasa yang begitu dalam. Ada kalanya lisan yang harus maju. Mengungkapkan pernyataan sederhana yang dinanti sejak awal. Namun, untuk beberapa orang-orang yang sulit mengungkapkan perasaan...