Pagi ini, Caca merasa jika tubuhnya didekap erat oleh sepasang tangan yang bersuhu tinggi. Rasa hangat di tubuhnya semakin lama semakin panas. Ia menyentuh lengan Afkar yang ada di balik selimut. Panas.
"Bang?" Caca berusaha melepas pelukan Afkar di tubuhnya.
"Eung ...." Afkar bergumam tak jelas sambil membuka kelopak mata.
"Abang demam," kata Caca.
Afkar menjauhkan tangan dari tubuh Caca, lalu menarik selimut sampai leher. Membalas perkataan Caca dengan dehaman yang bersuara serak.
Caca bangun. Ia duduk bersila menghadap Afkar, lalu menyentuh lembut keningnya dan mengusap rambut lelaki itu. "Ini udah pagi, berarti Abang nggak usah masuk kerja dulu. Aku buatin bubur dulu, ya." Ia melirik jam dinding kamar, sudah pukul setengah tujuh, bangun kesiangan karena selepas Subuh mereka tertidur kembali.
Afkar tak menjawab. Lelaki itu justru memutar tubuh dan memeluk guling, membelakangi Caca. Semakin merapatkan selimut pada tubuhnya yang terasa menggigil. Entah kenapa ia bisa demam seperti sekarang, padahal hanya begadang beberapa hari, tapi efeknya sampai segini besar.
Pekerjaan di kantor memang cukup menyita waktu jika sedang akhir bulan. Belum lagi, Afkar tak tega jika melihat Caca sibuk sendiri dengan skripsinya. Diam-diam, dirinya membantu mengerjakan skripsi Caca pada malam hari, setelah pekerjaannya selesai.
Belum lagi, khawatir dengan keadaan Umma semakin menjadi. Umma beberapa kali mengabari jika tubuhnya lemas, lalu berdiam diri di kamar karena tak mau membuat Tisya atau Caca khawatir dan berpikir yang tidak-tidak.
Ada beberapa hal yang mempengaruhi daya tahan tubuhnya. Oleh karena itu, ia sampai jatuh sakit seperti sekarang.
***
Ketika turun ke bawah, Caca segera membuat bubur dicampur dengan beberapa sayuran. Ada Umma yang baru saja keluar dari kamar. Wanita itu menatap Caca dengan bingung karena sedang memasak sesuatu yang tak seperti hari-hari biasanya.
"Ca? Masak apa?"
Caca menoleh sejenak, lalu fokus memotong wortel. "Bubur, Umma, soalnya Abang sakit. Badannya panas, tapi selimutan," ujarnya.
Umma terkejut. "Sakit?"
Caca mengangguk. "Iya. Ada obat penurun panas nggak, Umma? Atau, kalau sakit itu biasanya Abang minum obat apa?"
Umma membuka bufet dan mengambil kotak obat. Ada plester penurun demam juga di sana untuk orang dewasa. Biasanya Tisya memakai itu. Paling-paling jika dipaksa saat sakit, Afkar mau memakainya.
Setelah mengambil obat dan plester penurun demam, Umma memberikannya pada Caca. Menaruh di atas nampan, lalu mengelus pundak perempuan itu.
"Tolong, rawat Abang, ya. Dia kadang susah makan kalau sakit. Terus, kamu bujuk juga supaya mau pakai plester demam biar cepet turun panasnya," ucap Umma.
"Tenang aja Umma, pasti aku rawat kok Abangnya, kan udah jadi tanggung jawab aku juga. Jadi, Umma jangan khawatir."
Umma berjalan mendekati meja makan, lalu mengambil beberapa helai roti dan kotak selai, kembali menuju dapur dan menaruhnya di piring.
"Umma mau buat apa?" Caca bertanya ketika melihat Umma mengambil teflon.
"Mau bikin roti bakar buat sarapannya Tisya. Kamu mau, nggak?"
"Nggak, Umma. Nanti kalau aku mau, aku buat sendiri aja." Caca kemudian meringis. "Maaf ya, Umma, karena aku kesiangan jadi nggak sempat buat sarapan gini."
Umma yang sedang mengolesi roti dengan selai itu terkekeh. "Alah, kamu ini kayak sama siapa aja. Nggak usah nggak enak gitu, kamu juga kan harus ngurusin Abang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelabuhan Hati
RomanceMungkin, perlakuan saja tidak cukup untuk menunjukkan sebuah rasa yang begitu dalam. Ada kalanya lisan yang harus maju. Mengungkapkan pernyataan sederhana yang dinanti sejak awal. Namun, untuk beberapa orang-orang yang sulit mengungkapkan perasaan...