Kalau saja Caca sangat mengenal Afkar melebihi lelaki itu mengenali dirinya sendiri, mungkin semua tanda tanya tidak akan pernah mencuat. Akan tetapi, ketika Afkar sendiri yang justru menutup diri, maka itu bukan sepenuhnya kesalahan Caca jika ia masih bertanya-tanya seperti apa perasaan Afkar untuknya? Alasan pasti apa yang membuat mereka kini ada dalam sebuah hubungan sakral?
Caca merasa aneh karena Afkar sedari tadi tampak terus memperhatikannya. Tatapannya tak lepas dari dirinya, bahkan ketika Caca sibuk mondar-mandir. Makin aneh lagi ketika Caca ingin keluar dari kamar inap Umma, Afkar meminta ikut.
"Mau ke mana?"
"Itu, tadi Tisya pergi sholat tapi nggak muncul-muncul, aku mau nyusulin."
"Aku ikut."
"Umma nggak ada yang jaga lho, Bang?"
Umma di tempatnya hanya tersenyum tipis. Ia tahu Afkar sedang mendekatkan diri—ah, bukan—tapi sedang menunjukkan rasa peduli dan sayangnya pada sang istri.
Afkar terdiam. Iya, sih, batinnya. Ia menatap Umma, kemudian beralih pada Caca. Membatin lagi. Ya Allah, kenapa dua perempuan ini cantik, ya?
"Umma nggak papa kok, Ca, sendirian. Gih, kalian keluar aja. Nggak usah susulin Tisya, pasti bakal balik lagi. Kalian ... " Umma berdeham sejenak. " ... kalian pergi berdua aja. Pulang ke rumah dulu bersih-bersih, atau terserah mau ke mana juga."
Lalu, pada akhirnya Afkar dan Caca ada di rumah. Setelah membersihkan diri masing-masing, Afkar mengatakan bahwa dirinya ingin makan roti bakar selai nanas. Caca langsung menuju dapur diikuti lelaki itu.
"Abang kok tumben banget sih pengen roti bakar sore-sore gini?"
"Nggak tahu."
Caca mendengkus. Tidak ada gunanya juga bertanya. Tangannya sibuk mengolesi roti dengan selai. Afkar berdiri di sampingnya, bahkan sangat dekat sampai-sampai lengan Caca menempel pada dada bidang lelaki itu. Sama-sama tidak sadar kalau debaran itu sedang dirasakan.
Afkar mencolek selai nanas kesukaannya dengan jari telunjuk, lalu ia arahkan pada mulut Caca. Caca terdiam dan mendongak untuk menatapnya. "Cobain. Enak." Hanya dua kata, namun mampu membuat tatapan bingung Caca terjawab.
Dengan kaku dan malu Caca membuka mulut dan memakan selai itu, hanya setengah, manis. Afkar tanpa kata memasukkan jari telunjuknya ke mulut sendiri dan memakan sisanya.
"Em ... selalu manis," kata Afkar
Jangan tanya di mana jiwa kewarasan Caca karena mungkin sudah terbang ke awang-awang.
Afkar menunduk agar bisa melihat wajah Caca, akan tetapi perempuan itu menunduk dengan tangan yang terus mengoleskan roti dengan selai, kini dengan mentega.
Ia memiringkan tubuh dan mensejajarkan kepalanya dengan wajah Caca. Perempuan itu melotot ketika wajah Afkar tepat di depan matanya.
"Ab-"
Ketahuilah bahwa Afkar mengakui jika ini bukan nafsu, akan tetapi sebuah penyaluran rasa sayang dan cinta yang ia miliki untuk Caca.
Ciuman lembut itu membuat Caca tanpa sadar menaruh roti begitu saja di atas piring. Afkar merengkuh pinggang dan menaikkan tubuhnya ke bar dapur, lalu menjauhkan kepala.
Afkar kehilangan akal karena tak sampai sepuluh detik ia kembali meraup bibir tipis itu dengan bibirnya.
Perempuan ini, perempuan yang berhasil memporak-porandakan hatinya, kini ia benar-benar tidak mau untuk membuat sebuah kesalahan karena takut kehilangan, meski pada nyatanya ia sudah melakukan itu.
><
"Caca, kalau Babang Afkar nyakitin kamu, pindah haluan aja ke Bang Raka."
Mimpi.
Hari kedua Umma di rumah sakit, siang ini Afkar cs—Raka, Misbah dan Ganda—datang berkunjung. Alih-alih merasa risi, Umma justru senang karena teman-teman dari anaknya itu peduli padanya. Meskipun tak bisa menghilangkan rasa sakit yang terkadang mendera, namun canda tawa itu berhasil membuat hatinya merasa tenang dan nyaman.
Rasa senang menghadirkan sebuah semangat. Jika yang dipikirkan hanya rasa sakit dan sedih, rasanya itu hanya sia-sia. Waktu akan terus berputar, semesta tidak akan terus-menerus berpihak pada kita karena perlahan, perubahan akan datang.
Afkar di tempat melempar tatapan kesal. Sorot tajam terselip di antara rasa cemburu dan mangkel. Temannya yang satu itu memang tidak pernah berubah. Aura negatifnya harus segera disingkirkan dari Caca.
"Oho ... Cacanya kek mau pindah haluan aja ke lo. Udah gede nggak mampu beli kaca?" Misbah tersenyum mengejek, setelahnya.
Ganda tertawa senang. Lain halnya dengan Raka yang memasang wajah bebek.
"Ya Allah, mulut Misbah udah ketularan Afkar aja mentang-mentang satu kantor." Raka kemudian menoleh ke kanan-kiri, seperti mencari keberadaan seseorang. "Demai ke mana dah?"
"Ya Allah, mulut Raka nyebut nama cewek terus. Apa dia mau menjelma jadi titisan playboy?" Maka, Raka tak segan melempar Misbah yang duduk di sofa sebelah dengan camilan yang belum dibuka.
"Demai itu dedek gemai alias Tisya! Dari tadi gue nggak lihat doi. Ke mana, deh, dia," ujar Raka, lalu menatap Umma yang sedang memakan jeruk di tempat tidur, ada Caca duduk di kursi sebelahnya. "Umma, Si Gemai ke mana?"
Afkar sudah kebakaran jenggot di tempat. Tanduk seakan muncul di kepala. Ia paling kesal kalau ada yang membawa-bawa perempuan yang disayanginya—Umma, Caca, dan Tisya. Raka juga, temannya itu memang kurang ajar karena selalu menggoda Tisya sedari dulu.
"Sadar, Ka, Tisya itu udah ada pawangnya," ucap Ganda.
"Bener, tuh!" kata Caca, menyetujui. "Kak Raka nggak tahu aja pawang kita segalak apa 'kan?"
Raka mengerti. Ia melirik Afkar. "Segalak aing maung! Rawr!"
Misbah tertawa senang. Ia kemudian menggeleng, tidak setuju dengan pendapat Raka dan Caca. "Bukan Afkar pawangnya!" Kemudian melanjutkan, "Lo bisa kalahin sodaranya, tapi nggak bisa dengan orang yang dia cintai."
"Maksud lo?" Afkar menatap datar Misbah.
Sebelum Misbah menjawab, pintu kamar inap dibuka dari luar. Muncul Tisya dengan Azhar di belakangnya. Tanpa banyak kata dua anak itu mendekati Umma tanpa repot-repot menyapa teman-teman Afkar. Mereka sama-sama tidak peduli.
Misbah mengerling. Ia mulai berbicara ketika dua anak itu tampak sibuk dengan Umma. "Tuh, lihat anak cowoknya. Sekarang boleh aja lah mereka nyebutnya temenan, sahabatan, lihat aja pas udah SMA, makanannya perasaan sama kecemburuan," tuturnya.
Mereka menatap dua anak itu. Tisya dan Azhar memang teman, dari semasa SD sampai mereka sudah SMP seperti sekarang. Afkar tidak pernah melarang Tisya untuk berteman dengan siapa pun selagi itu berdampak positif, dan selama berteman dengan Azhar, mereka tak pernah melewati batas-batas yang sudah diberi tahu dari dua belah pihak keluarga karena mereka bukan mahramnya.
"Nanti punya hubungan yang namanya kek nama minuman gitu 'kan?" tanya Raka.
"My Zone?"
"Friendzone, Kambing!"
Afkar menghela napas, lelah menghadapi teman-temannya padahal ia tak banyak berbicara.
Mereka sudah dewasa, akan tetapi jiwa soaknya tidak pernah hilang sampai kapanpun.
><
Kangen Afkar cs jadi iseng masukin mereka hihihi
Jangan lupa kasih bintangnya ya🥺
Gpp sepi, gpp😍
Subang, 23 sep 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelabuhan Hati
RomansaMungkin, perlakuan saja tidak cukup untuk menunjukkan sebuah rasa yang begitu dalam. Ada kalanya lisan yang harus maju. Mengungkapkan pernyataan sederhana yang dinanti sejak awal. Namun, untuk beberapa orang-orang yang sulit mengungkapkan perasaan...