10 - Khawatir

301 65 25
                                    

Tatapan Jay yang masih terpusat pada Manda sedikit terganggu karena senggolan pelan dari Jake.

"Eh, kok Jiya gak ada, ya?"

"Mana gue tau anjir," sahut Jay sambil masih melambaikan tangan ke Manda.

Jake mencebik. "Ya, lo tanyain kek sama Manda. Soalnya Jiya bilang, dia mau nonton gue basket."

Akhirnya Jay memutar kepalanya dan berkata, "Dikibulin kali lu."

"HAH?! YA KALI? MASA SIH???" Jake masih tidak percaya dan mulai overthinking.

Jay hanya bisa menepuk bahu Jake dengan tampang mengejek mentang-mentang doi nya sudah ada di tempat menontonnya dari atas panggung.

Tak peduli akan obrolan dua sohibnya, Sagara menginterupsi, "Gue mau ke toilet bentar. Nanti kalau udah mau mulai kabarin lewat chat ya."

"Iya," balas Jake singkat, masih berpikir kemana perginya Jiya saat ini. Sementara Jay hanya memberi anggukan tanda paham pada Sagara.

< f a v o r i t e b o y >

Lima belas menit kemudian, pertandingan pun dimulai. Jiya dan Sofia telah kembali sekitar lima menit sebelumnya. Mereka bertiga pun menonton basket dengan perasaan yang berbeda-beda. Ada yang sedang semangat, yang biasa saja, dan yang lesu.

Bagian yang paling semangat, tentu saja diambil oleh Sofia. Berkali-kali gadis itu meneriakkan nama Sagara walau suaranya selalu terbentur sengan teriakan penonton lain.

So sweet.

Sofia hebat, ya. Menyukai seseorang yang bahkan belum tentu atau tidak mungkin untuk menyukainya balik itu bukanlah hal yang menyenangkan.

Di sisi lain, Manda jadi merasa sedikit bersalah karena tidak bersyukur telah diberi seseorang yang dengan tulus menyukainya, namun malah ia sia-siakan.

Eh.

Eh apa, sih?

Kenapa gue malah jadi mikir kayak gitu?

Lagipula, gue emang masih merasa nyaman untuk jadi sebatas sahabat saja dulu sama Jay.

Lamunan berujung petaka. Ia tak menyangka suara peluit dari sang wasit akan membuyarkan seluruh isi pikiran dan hatinya.

Jay terjatuh.

Kontan, air muka Manda berubah seratus delapan puluh derajat. Tak bohong, ia tercekat hingga berdiri demi melihat keadaan di bawah sana.

Ekspresi sahabatnya itu terlihat seperti sedang menahan sakit yang teramat sangat. Batinnya bertanya-tanya kalau dia tidak apa-apa, kan? Pastinya tidak akan separah itu, kan?

"Man itu temen lo kan tadi yang jatuh?" tanya Sofia.

"Tadi itu Jay, kan?" tambah Jiya.

Manda hanya mengangguk, mungkin dia tidak memperlihatkan rasa khawatir nya, tapi pandangannya tidak bisa berbohong, itu tertuju lurus ke arah perginya Jay.

"Lo mau samperin, Man?" Jiya bertanya, tetapi Manda hanya menggeleng.

"Nanti aja pas pulang," katanya.

Jiya serta Sofia hanya mengangguk mengindahkan pernyataan anak itu.

Manda memang pandai dalam menyembunyikan perasaan, tapi tidak untuk kali ini. Dia lemah di saat ada sangkut pautnya dengan orang yang sangat penting baginya.

Masih dalam keadaan yang agak ricuh, seseorang yang berada tak jauh di sebelahnya berteriak kencang. Mencuri hampir setengah perhatian dari penonton yang ada di sini.

Favorite BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang