1. Dua Pengacara

934 158 94
                                        

●●●

jeffrose_'s present

●●●

MIMPI buruk itu terjadi bertahun-tahun yang lalu. Peraturan diganti dan semua orang melupakan yang mati. Tak perlu memikirkan siapa dan apa saja yang dialami oleh penghuni alam baka, kata mereka, asal orang yang hidup masih merasa kenyang dan dapat tertawa.

Hendery melangkah ke ruang sidang dengan penuh percaya diri, seolah bumi adalah bola kasur dan dia adalah kucing yang mempermainkannya. Hakim dan para juri menatapnya penuh perhatian, sedangkan si terdakwa menatapnya dengan bangga. Ruang sidang selalu menjadi panggung bagi Hendery, dan tak pernah ada lampu yang tidak menyorotnya.

"Para juri yang baik," ia memulai pidatonya. "Setelah menghabiskan waktu sebegini panjang dan melewati banyak proses yang melelahkan, saya masih yakin bahwa terdakwa, pria paling baik dan murah hati yang pernah saya kenal, sesungguhnya tidak bertanggung jawab atas segala kesalahan apapun yang dituduhkan kepadanya. Kemewahan dan iri hati yang menjadi ruang lingkup pekerjaannyalah yang salah dan selalu mengadu domba. Saya yakin Anda semua telah mengerti, para hadirin sekalian terutama para juri, bahwa terdakwa, pria baik dan murah hati ini hanyalah sebuah samsak malang yang tidak tahu apa-apa. Bukti-bukti yang telah saya presentasikan di ruang sidang menunjukkan bahwa terdakwa tidak pernah mengambil sepeserpun uang negara, baik dalam bentuk fisik maupun elektronik, sebagaimana yang dinyatakan oleh Penuntut Umum.

"Oleh karena itu, para juri yang baik hati, keputusan yang berada di tangan Anda sekalian adalah keputusan yang amat berarti bagi terdakwa, bagi anak-anaknya, dan juga bagi istrinya yang mengalami guncangan berat. Saya yakin Anda sekalian adalah orang-orang bijaksana yang terpilih, dan karena kebijaksanaan itulah Anda sekalian akan memutuskan yang terbaik bagi terdakwa. Sekian dari saya, terima kasih."

Hendery membuka kancing jasnya dan duduk di kursi, di samping kliennya yang berbaju mahal dan berbadan tambun, yang tersenyum puas padanya.

Hakim menenangkan penonton yang berbisik riuh rendah dengan beberapa kali mengetuk palu. "Nah, para juri," wanita berambut putih dengan kacamata melorot itu berpaling menatap kursi juri-juri. "Bagaimana keputusannya?"

Ketua juri, pria paruh baya yang memakai gesper emas, bangun dan mengangkat selembar kertas. Ditatapnya ruang sidang seperti menyuruh paksa siapapun di sana untuk mendengarkan. "Yang Mulia Hakim," katanya dengan sedikit gemetar, "berdasarkan diskusi yang dilaksanakan secara jujur dan tertutup serta tak melibatkan pihak manapun, kami, para juri, menyatakan bahwa terdakwa tidak bersalah."

●●●

"Kacau!"

Winwin mendengus pelan dan berpaling dari televisi kembali pada layar komputernya. "Dia memang tak terkalahkan."

Lucas mematikan televisi itu dengan marah. "Sudah berjuta kali dia menyelamatkan para bajingan korup itu."

"Tapi, 'kan, tetap saja uangnya juga masuk kas kita," ujar Yangyang sambil membenahi rak buku-buku hukum.

"Diam!" seru Lucas pada Yangyang. "Ini juga salahmu. Astaga, kenapa tidak ada orang yang cukup waras di sini untuk menghentikannya?"

Yangyang memajukan bibir. "Kata-katamu saja tak didengar, apalagi kata-kataku," cibirnya.

Winwin mendesis sambil melongok ke luar jendela. "Dia datang."

Lucas menghempaskan diri ke kursi besarnya yang berada di balik meja besarnya. Bukan hanya itu, seluruh hal yang ada di atas meja itu juga besar-besar, seperti buku, monitor komputer, pesawat telepon, sampai bolpoin. Satu-satunya yang kecil di sana adalah sebuah pot tanaman kaktus mungil, yang menjadi korban perundungan benda-benda berukuran abnormal itu.

Devil's Advocate ● HenXiao ●Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang