•••
jeffrose_'s present
•••
"KAU melamun."
"Aku sedang memikirkanmu, bodoh."
Hendery menegakkan punggungnya dan menatap lurus-lurus klien mudanya itu. Dejun masih muda, sangat muda. Dari mata tajam itu seharusnya ada sinar harapan akan masa depan yang terbentang. Kini Hendery sadar sejak pertama kali bertemu, Dejun tidak pernah memiliki mata sejenis itu. Matanya, juga keseluruhan raut wajahnya, selalu keras dan menuntut. Seperti robot dan bukannya manusia.
"Bukankah kita sudah kalah?" ujar Dejun, hampir berbisik. Hendery tahu betapa beratnya bagi Dejun mengatakan kata 'kalah'. "Bukankah aku sudah pasti akan mati?"
"Kita memang kalah tapi aku akan mencari cara untuk meringankan hukumanmu," jawab Hendery ketus. Tentu saja bagi pengacara hebat itu, kata 'kalah' adalah sensitif. Begitu sensitif sehingga rasanya ia ingin mengamuk di ruang sidang dan meninggalkan kewibawaannya.
"Tapi bagaimana caranya?"
Jarum detik jam kini terdengar semakin jelas, mengusik ketenangan Hendery. Pengacara dan narapidana yang sedang duduk diam di sel sempit dan kotor itu mulai terserang gelisah.
Bagaimana caranya? Hendery pun tidak tahu. Ia memikirkan hal itu sejak pertama kali sadar bahwa kini Dejun adalah tanggungannya.
"Aku sedang memikirkannya. Kau jangan khawatir," kata Hendery, lebih tenang ketimbang sebelumnya.
"Pak Pengacara..." panggil Dejun. "Kau..."
Hendery terkejut dan seketika mendongak. Kepalanya pusing dan rasanya dunia berputar terbalik. Dejun buru-buru memanggil sipir penjara, meminta tisu pada mereka.
"Terima kasih." Hendery lekas menyeka hidungnya yang masih mengeluarkan darah.
"Sebaiknya kau pulang saja dan beristirahat," kata Dejun.
"Aku belum bisa pulang."
"Kenapa?"
Hendery tidak menjawab pertanyaan itu.
Keduanya diam lagi. Diam yang lebih menusuk ketimbang biasanya.
"Dejun..." begitu kata Hendery dengan sengit. Meremangkan bulu roma Dejun. Pengacara itu kemudian melanjutkan. "Aku tidak mau kau mati."
Hendery memang tidak mau Dejun mati. Dejun sering mendengar keinginan itu sampai dirinya sendiri, yang sebenarnya ingin sekali mati, muak. Tapi entah kenapa ada sesuatu yang berbeda ketika Hendery mengucapkan keinginannya itu kali ini. Seolah itu bukan hanya keinginannya, tapi meluas menjadi milik Dejun pula.
Hendery menatap lurus-lurus mata kliennya itu. "Selama kau ada di tanganku, kau akan tetap hidup. Aku berjanji pada diriku sendiri."
Lalu pengacara itu bangkit dan mendekati kliennya. Menubruknya dengan lembut. Membaringkannya di lantai dan menindihnya.
Hendery mengecup lembut puncak kepala Dejun, kemudian turun ke hidung dan pipinya. Telapak tangannya menggenggam penuh pinggang Dejun yang kokoh.
Dejun merasakan matanya yang berat membendung tangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Devil's Advocate ● HenXiao ●
FanficMereka memang menyatakan diri sebagai pembela, namun dengan misi dan kredo yang jelas amat berbeda. ●●● jeffrose_'s present A HenXiao Fanfiction
