●●●
jeffrose_'s present
●●●
DEJUN mengenal Jamestown sebaik mengenal dirinya sendiri. Daerah kecil yang dikelilingi pantai-pantai indah itu merupakan daerah pertama di muka bumi yang Dejun pijaki tanahnya. Udara hangat yang bercampur dengan angin laut selalu berhasil membawanya kembali kepada masa kecilnya, dimana dirinya dan ayahnya bersama-sama pergi ke hutan di sekitar Jamestown Reservoir untuk memotong kayu-kayu menggunakan kapak. Dahulu, Dejun kecil tak mengerti mengapa ayahnya selalu menggunakan istilah 'berlatih' ketika mereka melakukan aktivitas tersebut. Namun belakangan ini ia mengerti.
Ayahnya sedang mengajarinya membunuh.
Berulang kali ia mencuri pandang pada Hendery yang berada di belakang kemudi. Pengacara itu, seperti kebanyakan para penduduk RI, bukanlah supir yang baik. Klakson selalu berbunyi dengan brutal apabila mobil yang ada di depan melaju sedikit lebih pelan dan pedal gas selalu terinjak kuat-kuat ketika lampu sebentar lagi akan berubah merah. Tapi karena itu, mereka sampai di tujuan sekitar setengah jam lebih cepat. Dan itu pula berarti Dejun akan menghadapi teman-teman Brutusist-nya lebih cepat.
Daerah yang mereka tuju ada di kawasan Narragansett Avenue, Jamestown, dekat Dutch Harbor Boat Yard. Teringat jelas oleh Dejun malam kemarin lusa, ketika ia berjalan di tepi tebing pantai dan akhirnya menemukan Ten di Mackerel Cove. Kini, peristiwa tersebut seolah terjadi dahulu sekali. Banyak hal datang bertubi-tubi, sehingga Dejun hampir bingung ingin menyesali yang mana terlebih dahulu.
Mobil berhenti di lapangan parkir yang begitu kering karena disengat matahari. Hendery menyandarkan kepalanya sambil menoleh ke samping, menatap kliennya yang gugup.
"Kau siap?" tanyanya.
"Tidak," jawab Dejun jujur.
Hendery terkekeh. Ia lalu membuka sabuk pengamannya dan juga membuka pintu. "Lebih cepat, lebih baik."
Dejun terdiam setelah Hendery keluar. Pikirannya dipenuhi kemungkinan-kemungkinan terburuk yang ia rasa pantas didapatkannya. Mungkin saja akan ada penyerangan terhadapnya di dalam penjara itu, mungkin saja penyerangan itu disertai penganiayaan, atau mungkin pula disertai pembunuhan. Dejun tidak pernah merasa takut akan hal-hal itu, namun lain ceritanya jika dialah yang menjadi target korbannya.
Ia terkesiap ketika tiba-tiba pintu di sebelahnya dibuka dari luar.
"Mau sampai kapan melamun?" tanya Hendery sambil menundukkan kepalanya sehingga sejajar dengan posisi Dejun.
Dejun membalas tatapannya sedikit takut. "Apa kau yakin aku tidak akan mati?"
"Aku tidak akan membiarkanmu mati."
●●●
Penjara kepolisian pagi itu nampak sepi dan mengantuk. Bau kopi dan sedikit tembakau menyeruak di ruangan putih gading dan berkesan lusuh tersebut. Sipir-sipir, baik yang lelaki maupun perempuan, sama-sama memiliki tubuh berisi dan kekar, meski ada sebagian lagi yang bertubuh jangkung dan kurus. Diantara mereka, ukuran Hendery dan Dejun menciut. Penampilan mereka juga terasing dan tidak cocok berbaur. Kendati demikian, dengan kelihaiannya beromong besar, Hendery mendapatkan izin untuk mewawancarai tiga Brutusist hari itu.
Yang pertama memasuki ruang wawancara adalah laki-laki Iran berusia sekitar akhir 60. Bicaranya sudah tidak jelas dan sering kali linglung. Dia adalah salah satu anggota senior dari generasi kedua setelah Brutusist didirikan, tidak mengenal Dejun, tapi mengenal baik ayahnya. Mereka bertemu di pelabuhan ketika pertama kali berimigrasi ke Rhode Island. Menurutnya, ayah Dejun adalah orang paling baik dan sangat berdedikasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Devil's Advocate ● HenXiao ●
FanfictionMereka memang menyatakan diri sebagai pembela, namun dengan misi dan kredo yang jelas amat berbeda. ●●● jeffrose_'s present A HenXiao Fanfiction