🥀 RENGKING SATU🥀

1K 135 39
                                    

"Bukan dunia namanya jika bukan tempatnya diuji. Masalah dan masalah terus menghampiri dan menyayat hati."____RAPUH🥀

                     ~RAPUH🥀~


"Rengking pertama diraih oleh Lyvia Gemerlap!" seru seorang Guru tersenyum bangga. "Selamat Lyvia! ayok silahkan maju," titah Guru itu.

Setelah seminggu melaksanakan ujian, pada akhirnya kerja kerasnya selama ini tidak sia-sia. Dilain sisi Lyvia bahagia kerena bisa mendapatkan peringkat pertama, tetapi dilain sisi tidak ada seorang pun yang menggambil raportnya. Lyvia beranjak dari duduknya lalu berdiri dihadapan wali-wali murid juga teman sekelasnya. Sementara itu, Emilia berdecih dengan melipat kedua tangannya di bawah dada, dilain sisi seseorang mengepalkan kedua tangannya geram melihat Lyvia kembali merebut posisi yang seharusnya menjadi miliknya.

Setelah mendapat piagam dan hadiah Lyvia diperbolehkan keluar, masih dengan wajah datar tanpa senyuman Lyvia melangkah ke luar kelas lalu dia melihat sekitar membuat pandangan menjadi sendu, bisa dikatakan Lyvia iri dengan kehangatan orang tua pada anak-anaknya. Jika boleh dirinya ingin merasakan kehangatan dari Mama dan Papa, bisakah keinginan ini terwujud?

"Mama bangga sekali kamu masuk sepuluh besar," ujar wanita paruh baya dengan senyuman bahagia seraya mengelus rambut sang putri.

"Maaf, ya, Ma. Aku belum bisa masuk tiga besar," sahut siswi itu kecewa.

Wanita paruh baya itu terkekeh. "Heh, enggak papa, nak. Mama malah senang yang penting kamu udah usaha," balasnya membuat sang putri memeluk tubuh wanita itu erat.

Sedangkan Lyvia memalingkan wajahnya seraya meremas ujung roknya, tak kuat menahan tangis sedari tadi. Sepertinya hanya dirinya saja yang orang tuanya tidak datang.

"Heh si bisu, kasian orang tuanya enggak dateng," ejek Emilia menarik sudut bibirnya.

"Kayaknya lo anak pungut deh," timpal Silvi tersenyum mengejek. "Lagi pula siapa orang tua yang mau nampung anak pungut kaya lo, pasti mereka ogah dateng kesini."

Lyvia mengepalkan kedua tangannya dengan wajah memerah. Lyvia memejamkan matanya sesaat untuk merendam amarah yang tadi memuncak. Lagi pula percuma dirinya meladeni mereka hanya membuang tenaga saja.

Lyvia hendak melangkah, namun pergelangan tangannya dicekal Silvi. Silvi menatap tajam sambil mencekal kuat tangan Lyvia, Silvi pun melepaskan cekalan itu meninggalkan tanda merah di pergelangan tangan Lyvia.

Emilia menepuk bahu Lyvia kuat membuat si empunya meringis. "Tunggu pembalasan gue," bisik Emilia tersenyum sinis lalu berlalu pergi diikuti kedua temannya.

Lyvia meloloskan helaan nafas kemudian terkejut saat Avaro berdiri di sampingnya, tapi Lyvia bisa mengatur raut wajahnya menjadi datar.

"Gue denger lo dapet peringkat pertama?" Avaro mengusap rambut Lyvia. "Selamet, ya."

Lyvia tidak menjawab hendak melangkah yang tadi baru saja tertunda akibat ulah Emilia, Silvi dan Vienna. Avaro menatap tajam sambil mencengkram bahu Lyvia kuat.

"Gue enggak suka dikacangin," geram Avaro membuat Lyvia menepis tangan Avaro dari bahunya.

"Berubah," ucap Lyvia.

Avaro tersenyum miring lalu mengelus pipi gadis di depannya. "Semua orang punya masa kelam membuatnya berubah dan itu terjadi sama gue, hidup kelam itulah yang buat gue berubah." Avaro kini tersenyum manis. "Lagi pula ada lo di sisi gue, gue enggak bakal lepasin lo dan lo bakal hidup bareng gue."

"Obsesi," kata Lyvia.

Avaro menggangkat bahunya tidak peduli. "Seterah lo mau ngomong apa, tapi lo enggak bakal bisa lepas dari gue."

RAPUH (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang