🥀MENOLONG🥀

978 114 22
                                    

"Ku rangkai kata lewat tulisan, menikmati kehidupan dan terlalu banyak menyendiri di kegelapan."___RAPUH🥀


                      ~RAPUH🥀~

Tak bisa dipungkiri Lyvia sangat bersemangat untuk mendonorkan ginjalnya, tetapi masalahnya penyakit kangker otak yang ia simpan selama ini akan terkuak dan sebenarnya orang penyakit sepertinya tidak boleh mendonorkan organ dalam tubuh pada seseorang terlebih penyakit itu sudah menyebar ke seluruh tubuh. Itu masalah yang Lyvia takutkan hingga kini, dia takut membuat Abangnya malah menambah sakit bukannya sembuh.

Lyvia mendekati Papanya lalu menepuk bahu sang Papa dan malah ditepisnya kasar. Tentu saja membuat Vienna dan Melly menahan tawa lalu kembali memakan sarapannya.

"Pa. Aku siap buat donorin ginjal aku buat Abang," ujar Lyvia menatap tatapan nyalang dari sang Papa.

"Tidak perlu, seseorang sudah memberikan donoran ginjal untuk Lion. Kamu pasti bahagia kan?" Vito menoleh padanya seraya bersedekap. "Kamu tentu senang karena tidak jadi mendonorkan ginjal kamu, karena kamu sangat suka melihat Abangmu mati, kan?"

"Saya tentu tau pikiran buruk mu Lyvia," ketus Vito beranjak lalu ke luar dari rumah diikuti Melly. Vienna mengelap ujung bibirnya dengan tissue lalu melemparnya ke wajah Lyvia.

"Kasian enggak ada yang percaya lo, gue kalo jadi lo mending mati. Lagi pula hidup lo cuman kesalahan," sindir Vienna tersenyum miring. "Sadar diri lo itu sampah," desisnya mendorong tubuh Lyvia hingga mengenai kursi kayu jati.

"Gimana rasanya dibenci Ayah sendiri? sakit? oh gue jadi iba deh sama lo," ejek Vienna memasang wajah memelas. Tentunya itu hanya pura-pura, Lyvia memalingkan wajahnya ke arah lain enggan menatap Vienna.

"Lyvia...Lyvia jadi gini hidup lo. Haduh kacian, hahaha!" tawa remeh dari Vienna membuat Lyvia menatap tajam.

"Kamu mending sadar, berhenti bermain drama disini untuk dapet perhatian Papa karena rasanya kamu itu hanya pecundang yang memainkan peranmu untuk membunuh seseorang secara perlahan," tutur Lyvia menaiki tangga menuju kamarnya berada. Lyvia membalikkan tubuhnya saat berada di anak tangga. "Berhenti menjadi munafik, jadilah diri sendiri. Beginilah hidup kita harus jadi kuat agar tidak terinjak." Lyvia melanjutkan langkahnya meninggalkan Vienna yang termenung.

"Iya, dengan cara memainkan peran itu membuat gue bisa hidup lebih lama dan enggak mudah direndahkan," gumam Vienna melipat kedua tangannya di bawah dada.

                      ~RAPUH🥀~

Lyvia membuka pintu gerbang. Ia mendudukkan dirinya di bangku kayu dengan pohon rindang di atasnya, suasana rumah tinggalnya lebih damai dan tenang.

Plak!

Vienna tiba-tiba menampar pipinya kuat membuat Lyvia menatap heran. Vienna menunjukkan dress merah menawan yang sudah terkoyak.

"Lo kan yang buat dress gue kaya gini? ngaku aja deh? mau bales dendam lo ama gue?!"

Lyvia menggeleng. "Bukan aku," jawab Lyvia tenang. Untuk apa merasa takut, lagi pula dirinya tidak bersalah.

"Enggak mau ngaku? oke, gua bakal bilang Papa!" Vienna meraih ponselnya dari saku dan mulai menelpon Vito. Lyvia hanya menghela nafas, tidak mempedulikannya.

"Liat aja pas Papa pulang." Vienna mendengus dengan senyuman miring yang tercetak di wajah manisnya.

Lyvia memutar bola matanya. Vienna hendak keluar dari gerbang dan melangkah melewati jalan untuk membuang dress itu ke tong sampah besar di ujung jalan itu. Sesekali melirik sekitar takut ada motor dan mobil lewat.

RAPUH (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang