🥀 DIJEBAK 🥀

996 126 47
                                    

"Semakin hari menjalin kehidupan ini, aku mulai mengerti untuk apa aku hadir di dunia. Menahan semua rasa dan menyemangati diri sendiri adalah hal yang sulit."___RAPUH🥀

                        'RAPUH🥀~

Lyvia menatap buku-buku sekolah dan kitab-kitab yang baru saja Papanya beli. Lyvia menautkan kedua tangannya di atas meja dengan air mata mengalir. Darah mengalir dari hidungnya dan rambutnya yang rontok sudah banyak ia taruh di dalam laci. Lyvia menghapus darah itu lalu kembali menatap dirinya di cermin.

"Kapan ini berhenti?" Lyvia merasakan kepalanya terasa sakit sekali. Dirinya menahan diri untuk tidak berteriak.

Ia melangkah ke arah balkon menemukan Guntur dan Mamanya sedang bercanda gurau. Kehidupan sahabatnya bisa dibilang sangat baik dan bahagia, ia harap bisa merasakan kehangatan itu.

Lyvia menutup gorden kemudian menuruni tangga, ia tidak mendapati Bibi Minah atau Papanya di sana. Ia keluar dari dalam rumah, Lyvia akan menuju rumah Guntur.

Sebuah ketukan membuat Mamanya Guntur—Gifa menuruni tangga lalu membuka pintu itu. Giga tersenyum manis lalu menyuruh Lyvia untuk masuk ke dalam.

"Tante panggil Guntur dulu," ucap Gifa menaiki tangga, sedikit kesulitan membawa Guntur. Gifa membopong tubuh Guntur pelan, Guntur terjatuh lalu berdiri walau sangat sulit melangkah.

Setelah membantu Guntur duduk di sofa. Gifa menggambil kursi roda dari kamar. Sedangkan Guntur tersenyum manis pada Lyvia, ia tidak hentinya melunturkan senyuman.

"Mama pergi kerja dulu, ya," pamit Gifa mengusap rambut Guntur lalu membantu Guntur duduk di kursi rodanya.

Setelah kepergian sang Mama Guntur mendorong kursi rodanya mendekati Lyvia. Lyvia hanya diam lalu menoleh pada Guntur.

"Lyvia, boleh minta tolong enggak?" tanya Guntur membuat Lyvia menggangguk. "Aku mau belajar masak, tapi aku enggak ngerti. Kamu bisa masak enggak?"

Lyvia menggeleng. "Enggak."

"Yah." Guntur tampak lesu. Lyvia menghela nafas sebelum beranjak dari duduknya.

"Kamu mau kemana?" Guntur mencekal pergelangan tangan Lyvia.

"Suruh Bibi Minah buat masak terus kasih ke kamu," balas Lyvia.

"Enggak usah, Via. Aku enggak mau ngerepotin," sahut Guntur. Sungguh ia tidak mau merepotkan temannya ini.

Namun, Lyvia tidak menghiraukan. Dirinya berlari dari rumah Guntur menuju rumahnya. Sedangkan Guntur menghela nafas melihat kepergian sahabatnya itu. Walau baru beberapa hari mengenal Lyvia, dirinya sudah banyak mengetahui sifat gadis itu termasuk sifat keras kepalanya.

Beberapa jam lamanya Lyvia datang sambil sambil menenteng rantang yang didalamnya ada makanan. Lyvia menyerahkan rantang itu pada Guntur, mau tidak mau Guntur menggambil rantang itu seraya tersenyum lebar.

"Makasih, Via. Maaf ngerepotin kamu," ucap Guntur. Lyvia menggeleng lalu berjongkok di hadapan Guntur.

"Kita teman. Setidaknya aku sudah banyak melakukan kebaikan di dunia." Lyvia menundukkan kepalanya ke bawah, sementara Guntur tidak mengerti maksud perkataan Lyvia.

"Aku taro rantang ini dulu," pamit Guntur menaruh rantang itu dipangkuannya sambil mendorong kursi roda ke arah dapur.

Lyvia menggigit bibir bawahnya sambil menatap ke atas agar air mata itu tidak tumpah untuk keberapa kali.

Setibanya Guntur di depannya, Lyvia dengan cepet menghampus air matanya terburu-buru. Lyvia bangun dari jongkoknya lalu mendorong kursi roda Guntur menuju ke depan rumah.

RAPUH (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang