🥀DIBULLY🥀

964 116 43
                                    

"Boleh aku meminta sesuatu? tolong semangati ku lewat ucapan dan doa. Sebagai mana kau mengganggap ku saudara."___RAPUH🥀

                       ~RAPUH🥀~

Satu bulan berlangsung semuanya sangat tidak baik, semakin hari diri harus kuat menghadapi ujian di dunia juga sindiran dari mereka. Lyvia membenarkan dasinya di depan cermin, memandang dirinya sesaat sebelum meraih rambut hitamnya yang sudah menipis.

"Kayaknya aku harus beli rambut palsu," gumam Lyvia menggeraikan rambutnya. "Aku enggak mau Papa, Mama, Abang dan Guntur khawatir sama keadaan aku. Pokoknya aku harus tutupi penyakit ini rapat-rapat."

Lyvia menggambil topi sekolahnya dari dalam laci, setelahnya Lyvia berjalan menuruni tangga. Ia menghentikan langkahnya saat sang Papa memandang dirinya penuh kebencian.

Kesalahan seseorang, tetapi dirinya yang menanggung semuanya. Lyvia berpositif thinking, mungkin ini ujian dari Tuhan lagi pula selagi ada Tuhan dan orang-orang yang menyayangi dirinya dalam diam adalah hal yang bagus. Dirinya tidak sendiri!

Lyvia menghela nafas setibanya di depan rumah. "Kamu kuat Lyvia, jangan nangis. Kamu bisa!" ujar Lyvia menyemangati dirinya sendiri.

Lyvia berjalan dari rumah menuju sekolah karena Papanya tidak mengizinkan dirinya menaiki mobil, tapi beruntungnya Papanya tidak membuang dirinya. Lyvia sangat tau bahwa sang Papa sangat membencinya juga percuma jika Lyvia mengatakan kebenarannya mereka pasti tidak percaya.

Sesampainya di sekolahan, untungnya jarak sekolah dan rumahnya tidak terlalu jauh. Lyvia mengatur nafasnya merasakan sesak luar biasa, Lyvia menghembuskan nafasnya berulang-ulang lalu melangkah memasuki sekolah.

Baru lima langkah semua orang melempari dirinya dengan beberapa sampah, lumpur dan sebagainya. Entah Lyvia tidak tau mereka mendapatkan lumpur itu dari mana yang jelas mereka pasti sudah menyiapkannya untuk membuatnya seperti ini.

"Cih pembunuh!"

"Sampah sialan! huuu!"

"Mati aja sana!"

"Tega banget bunuh Kakaknya sendiri!"

"Beruntung kita jauhin pembunuh itu! dia enggak pantas punya temen!"

"SAMPAH! SAMPAH!"

"BISU!"

Lyvia mengatur nafasnya lalu meremas ujung roknya, ia tetap berjalan melewati orang-orang itu, padahal pakaian sekolah, tas dan sepatunya sudah kotor.

Lyvia berdiri di lapangan dengan keadaan yang bisa dibilang tidak baik. Emilia, Silvi dan Vienna berdiri di depannya dengan melipat kedua tangannya di bawah dada.

Emilia tersenyum miring. "Owh kasian banget, udah penuh sampah sama lumpur. Jijik banget gue!"

"Bisu ini pantas dapetin ini semua," timpal Silvi menyeringai.

Vienna memutar bola matanya. "Udahlah guys pergi yuk, bau banget enggak kuat gue!" Vienna menggambil plastik bekas es lalu melemparnya di kepala Lyvia. "Ups sengaja!"

Gelak tawa terdengar dengan nyaring. Bahkan disekeliling mereka mengejek dan menghina dirinya habis-habisan. Lyvia menahan diri untuk tidak menangis, membayangkan dirinya saja Lyvia tidak kuat. Terlalu sakit itu yang ia rasakan.

"CUKUP!" teriak Lyvia memandang mereka satu-persatu. "Bisakah kalian berhenti ngelakuin ini?! kalian bisa bikin mental aku jadi down! kalian itu harusnya sadar diri, disini kalian adalah pembunuh! pembunuh mental seseorang! justru kalian yang pantas disebut pembunuh!"

RAPUH (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang