🥀TERLUKA🥀

1.2K 142 48
                                    

"Entah harus bagaimana menghadapinya. Hati terlalu sakit, tubuh pun terluka dan setiap melangkahkan kaki bagaikan ditusuk beribu duri agar aku berhenti kemudian meratapi nasib."____RAPUH🥀

                    ~RAPUH🥀~

Lyvia berdiri di dekat jendela sambil memandang hujan yang terus membasahi permukaan bumi. Lyvia kemudian duduk di sofa dengan memakai jaket. Tubuhnya dingin dan wajahnya pucat dipenuhi luka lebam.

Saat akan menyenderkan punggungnya justru terasa sakit, jadi dia hanya bisa duduk tegap walau terasa nyeri. Dia sadar jangan pernah bergantung pada siapapun termasuk orang tua, karena hanya diri sendiri  yang merasakan sakitnya.

Ia menatap lukisan yang kemarin dia lukis. Ia pun meraih lalu mengusapnya perlahan dengan air mata yang menetes mengenai lukisan itu. Ia menggigit bibir bawahnya saat pintu kamarnya terbuka dan itu adalah ulah Papanya.

Papanya menaruh buku LKS dan soal-soal entah dari mana kemudian ditaruh di meja belajar. Papanya menatap tajam pada Lyvia, tidak pernah Lyvia melihat tatapan teduh dari Papanya hanya tatapan itu yang selalu ia lihat.

"Kerjakan semua ini. Jika tidak mengerjakan nya jangan harap bisa makan," ujar Vito sekaligus ancaman.

Setelahnya Vito keluar dari kamarnya sambil menutup pintu dengan keras. Lyvia menatap buku-buku itu, sehari saja bisakah tidak melihat buku-buku? ia ingin melihat sesuatu yang membuatnya merasa senang. Hah sekali lagi dirinya hanya bisa menghayal.

Lyvia berjalan ke meja belajarnya tanpa minat. Dirinya membuka lembaran-lembaran soal yang mampu membuat siapa saja pusing akan nya. Walau Lyvia sudah biasa tetapi otak juga butuh bekerja dan istirahat, namun Papanya tidak pernah mengizinkan otaknya untuk istirahat dan selalu memaksa.

Lyvia tidak begitu jelas melihat soal-soal itu karena pusing di kepalanya malah semakin sakit. Lyvia memandang dirinya di cermin sesaat tiba-tiba cairan merah–darah mengalir dari hidungnya. Lyvia mengusap darah itu perlahan, namun justru malah semakin terus keluar. Lyvia menggambil tissue dari laci lalu mengelap darah itu.

Lyvia mulai berkutat dengan soal-soal tersebut. Lyvia menaruh pulpennya di tempatnya kembali. Gadis itu pun melangkah ke bawah sambil membawa soal-soal di tangan nya.

Ketika sampai ia langsung memberikan kertas-kertas berisi soal itu pada Papanya. Vito memperhatikan setiap jawaban hingga akhir. Vito menoleh pada Lyvia yang memasang wajah datar.

"Nomor lima dan dua puluh masih sedikit kurang, perbaiki sana."

"Pa. Lyvia boleh makan enggak?"

"Kerjakan soal itu baru boleh makan," jawab Vito tanpa menoleh pada Lyvia.

"Lyvia laper, Pa. Lyvia janji setelah makan Lyvia bakal kerjain soal ini," pinta memelas.

"Mau Papa pukul lagi?"

Lyvia tidak menjawab dan kembali memasuki kamarnya untuk memperbaiki jawaban. Tetapi, rasa laparnya malah semakin menjadi. Lyvia memeluk perutnya kuat untuk sedikit meringankan sakit.

"Sakit," lirihnya memandang pintu yang tertutup rapat. Saat dirinya ingin membuka pintu itu malah tidak bisa karena dikunci dari luar.

"Lyvia laper," ucap Lyvia lemah. Tiba-tiba sebuah jari mengenai kulitnya. Lyvia menundukkan kepalanya ke kolong pintu dan melihat piring berisi nasi.

"Non cepet di makan. Sebelum tuan dateng," ujar Bibi Minah. Namun, sebelum piring itu masuk ke kolong pintu. Piring itu langsung dilemparkan Vito hingga berceceran di lantai.

RAPUH (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang