Mata terasa berat untuk terbuka. Begitupun kepala terasa nyeri seperti dihujam oleh ribuan buah kelapa. Perlahan tapi pasti ia berusaha mencoba untuk sadar. Hingga atap putih menyambut dirinya setelah tidur panjang akibat tusukan itu.
Aryn berusaha untuk bangkit namun ia merasa nyeri teramat sangat di sekitar perutnya. Ia menangis sembari memegang perutnya. Walau perutnya sakit, karena luka belum mengering tapi bukan itu alasan Aryn untuk mengeluarkan air matanya. Ia manyapu pandangannya. Sepi. Hanya benda mati yang memenuhi ruangan kecil yang ia yakini sebagai ruang rawat inap.
Aryn semakin tersedu. Di mana keluarganya? Di saat menderita dan butuh sandaran tidak ada satu pun yang menemaninya. Bahkan untuk mendengar segala keluh kesahnya.
"Ma-ma, kalau saja Aryn anak yang baik, pasti mama masih hidup sekarang. Ma ..., Aryn mohon maaf. Maaf karena Aryn anak yang durhaka. Ma ..., tidak ada yang sayang sama Aryn ...," ucapnya sambil tersedu-sedu.
Ia menutup matanya yang telah dibanjiri oleh linangan air yang membasahi pelupuk matanya.
Krekk!!
Hingga decitan suara pintu menyadarkan Aryn akan kehadiran seseorang. Aryn melihat seseorang itu yang memiliki wajah yang berseri. Wajah itu selalu menampilkan lengkungan senyum yang terkadang membuat Aryn merasa tenang.
Lelaki itu Gibran. Ia meletakkan bungkusan plastik berisi buah-buahan. Lalu mendudukkan diri di bangku sebelah brankar Aryn.
"Alhamdulillah kamu sudah sadar. Pasti masih sakit ya, perutnya?" tanya Gibran berusaha memecahkan kecanggungan di antara mereka berdua.
Bukannya menjawab pertanyaan dari Gibran, Aryn malah menangis semakin kencang membuat Gibran bingung juga merasa takut.
Gibran turut prihatin dengan keadaan Aryn. Ia sempat mendengar ucapan Aryn dari luar tadi.
Gibran berdeham. "Kamu salah jika kamu mengatakan bahwa tidak ada yang menyayangimu Aryn. Apa bukti dengan dirimu diselamatkan Allah dari tindakan keji Ribal bukan sebuah bentuk kasih sayang?"
Gibran menjeda ucapannya. Menatap Aryn yang mulai reda tangisnya.
Aryn mencoba mencerna perlahan kata per kata dari Gibran.
Gibran melanjutkan ucapannya dengan suara yang hangat juga lembut. "Jangan karena tidak ada satu manusia yang tidak menyayangimu lantas kamu mengatakan jika di seluruh dunia ini tidak ada yang menyayangimu. Bagaimana dengan Allah. Kamu lupa? Kamu lupa bahwa yang menyelamatkanmu kemarin itu adalah Allah? Kamu hanya tidak menyadarinya Aryn. Allah itu sayang sama kamu. Mangkanya Allah selamatkan kamu dari aksi kejinya Ribal," ucap Gibran.
"Tapi—kalau Allah sayang sama gue, kenapa gue dikasih penyakit yang buat gue secara tidak sadar bunuh mama gue. Gue pingin mati aja. Kenapa lo selamati gue kemarin. Kalau gue mati, gue bisa jumpa sama mama, terus minta maaf," ucap Aryn yang mulai diikuti oleh aliran air di matanya.
"Bersyukurlah kamu masih Allah beri kesempatan hidup. Karena Allah ingin melihat dirimu bertaubat Aryn. Dan pilihan mati agar bisa meminta maaf kepada mamamu adalah hal yang salah. Hal yang seharusnya kamu lakukan itu adalah berubah menjadi lebih baik. Oh ya kamu tau gak, ketika seseorang mati, seluruh hal terputus dari dirinya kecuali tiga hal. Yaitu, ilmu yang bermanfaat, sedekah jariyah, dan doa anak yang sholeh dan sholeha. Jika kamu benar-benar merasa menyesal karena telah membunuh mamamu, berubahlah perlahan menuju wanita yang sholeha," papar Gibran panjang lebar.
Aryn meneguk salivanya susah payah. Ia mulai paham apa yang Gibran jelaskan.
"Lo mau bimbing gue biar jadi baik gak?" tanya Aryn sedikit malu dan gengsi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Permainan Takdir
Духовные•A Story By: Imam Ghazali (kelompok 3 genre religi Teras Pena Squad) •genre: Religi •Blurb : Zaskia Aryne. Gadis cantik yang menderita mental illness yang terpaksa masuk ke pesantren di mana ia harus kehilangan kekasihnya. Aryn selalu dikuasai oleh...