Chapter 5

17 3 0
                                    

Waktu mengikat jiwa begitu ketat, sampai rasanya hal-hal indah yang setiap menit, detik yang didamba lepas begitu saja. Mengulur ikatan itu bisa saja tapi, objek itu tidak mampu kembali lagi sebab seseorang telah membelenggunya begitu ketat. Pikiran itu selalu melintas pada lorong hitam berisikan otak yang memandu segalanya. Rasa ingin kembali, memiliki, dan menjadi  ratu pada hatinya hanya ilusi belaka. Sebuah realita menikam menyadarkan Aryn jika dia telah menjadi milik orang lain. Tapi Aryn tetap Aryn. Sejauh apapun, sesakit apapun untuk mendapatkannya, semua itu harus dilakukan.

"Hal yang sudah menjadi milikku, tidak boleh hilang. Jika ingin pergi, pergilah. Tapi hanya sementara. Artinya ...," ucapan Aryn terpotong karena Oma melirik dengan tatapan penuh tanda tanya.

"Kamu bicara apa sayang?" tanya Oma mengelus surai Aryn yang tertutupi hijab.

Aryn menggeleng. Orang lain tidak berhak tahu segala hal yang berkaitan dengan dirinya, bahkan anggota keluarga sendiri. Sifat tertutup itu yang membuat Aryn terbelenggu dari rasa nano-nano pedas itu.

"Aryn bilang apa," ucapnya sembari tertawa sedikit. Aryn memegang kedua bahu Oma. "Oma salah dengar. Aryn...nggak ingin di pesantern," ucap Aryn lesu menatap Oma dengan mata puppy eyesnya.

Bibir merah Oma terbuka, ingin mengatakan sesuatu tapi Aryn potong. "Hahahaha. Oma Kenapa? Aryn tadi canda.  Aryn mau kok di pesantern. Semua ini Aryn lakukan supaya Papa, merasa betah di rumah."

Papa Aryn menatap putrinya dari pantulan kaca mobil.

"Maksud kamu apa sayang?" tanya Oma.

"Selama ini, Papa bosan lihat Aryn ada di rumah. Itulah alasannya, Papa jarang di rumah." Ucapan Aryn membuat Papanya memberhentikan mobil tiba-tiba.

"Kenapa berhenti Pa? Ketabrak tikus? Kucing hitam?" tanya Aryn dengan nada menyudutkan.

"Pesantren akan mendidik kamu menjadi manusia seutuhnya Ryn," ucap Papa Aryn dengan nada dingin.

"Aku tidak akan bisa menjadi manusia seutuhnya, jika Papa memasukkan aku disana. Ahh, sudahlah. Percayalah Pa, aku niat kok di pesantern."

"Huwaaa. Aku ngantuk," ucap Aryn  ketika Papa hendak berbicara. Ia sudah jengah untuk melanjutkan pembicaraan lagi.

Berselang beberapa menit, jalan telah usai memandu mobil menuju penjara suci. Kini, Aryn menuruni mobil Ferrari hitam itu. Matanya menyapu bebas bangunan tinggi bertingkat, serta rerumputan yang tengah asik menari dipandu anila menyejukkan sukma.

Kehadiran Aryn disambut hangat oleh pengurus penjara putih itu. Bibir yang terangkat ramah itu, membuat Aryn ikut tersenyum juga.

"MasyaAllah, kamu yang namanya Aryn? Kenalin, saya istri kyai Abdurrahman. Kamu bisa panggil saya Umi Aisyah," sapanya sembari memegang kedua tangan Aryn.

"Aku Aryn," jawab Aryn yang setelahnya menatap Papa yang sibuk merogoh ponselnya sebab berdering. Netra Aryn masih terfokus pada Papanya yang sedang berbicara dengan seseorang di balik sana. Seketika senyum Aryn terlukis pada wajah ayunya.

Papa memasukkan ponselnya ke dalam saku belakang celana ketika pembicaraan mereka telah usai. "Kyai, saya titip Aryn untuk menimba ilmu ya. Saya mohon bantuin kyai dan umi," ucap Papa ramah.

"Iya Kyai. Tolong ya, karena Papa Aryn nggak pande didik anak. Jadi dibuang disini," ucap Aryn santai sembari mengosokkan kedua telapak tangan karena hawa yang dingin.

"Astaghfirullah, sayang kamu salah menyimpulkan nak. Penjara suci menurut kebanyakan orang. Kenapa? Karena dunia adalah penjara yang utama. Sedangkan pesantern itu, turunan dari penjara utama. Bukankah dunia ini memang penjara sayang. Kenapa? Karena disini Kita berjuang, berdesakan, piluh keringat bercucuran demi terbebas dari penjara dan menuju indahnya surga. Lebih baik kita berdesakan, keringat bercucuran, berjuang matian di dunia, apalagi penjara suci karena menimba ilmu lebih baik daripada di padang mahsyar atau neraka kelak," nasehat umi panjang lebar.

"Alah, panjang banget. Yaudah Papa pulang gih, sana," suruh Aryn sembari berjalan mendekati Papa. "Pa, Aryn pasti bakal rindu Papa."

Ucapan Aryn membuat semua orang yang ada disana mengernyitkan dahi. Terlalu aneh, bagi mereka. Mood Aryn yang berubah-rubah membuat mereka kebingungan. Tapi tidak dengan Oma. Seketika ingatan Oma melesat begitu saja mengenai perkataan sang Dokter kemarin.

Aryn memeluk Papa erat. Begitu pun Papa ia membalas tak kalah erat seakan takut akan kehilangan.

*****
Kondisi Aryn belum sepenuhnya pulih. Karena itu, Umi tidak langsung membawa Aryn  memperkenalkannya pada kamar tidurnya. Tapi Umi menyuruh Aryn untuk duduk di meja makan.

"Aryn, Umi akan membuatkanmu bandrek, supaya merasa lebih hangat. Kamu akan ke kamar kamu, jika kamu sudah benar-benar pulih," ucap Umi tersenyum sembari melangkah pergi menuju dapur.

Aryn ditinggal sendiri untuk menunggu bandrek disajikan. Termenung dalam pikiran kelabu. Lalu, lamunannya terhenti sebab deringan ponsel.

Aryn tersenyum licik. Tadi, ketika memeluk Papa erat, dengan halusnya Aryn melancarkan aksi mengambil ponsel Papa tanpa sepengetahuan siapapun. Ia menerima panggilan itu.

"Maaf Pak, perusahaan kita harus putuskan sekarang. Agar segalanya berjalan lancar. Di samping kerugian, kita akan meraih keuntungan jika mampu memanipulasi perusahaan mereka Pak," ucap anak buah Papa.

Aryn terdiam, tidak paham akan maksud anak buah Papanya.

"Pak, halo. Perusahaan Kencana terus mendesak perusahaan kita. Bagaimana Pak?"

Aryn tersenyum mendengar perusahaan Kencana. Sepengetahuan Aryn, Kencana adalah perusahaan terbaik di Indonesia setelah perusahaan Mega Sakti milik Papanya. Sekelebat pikiran negativ menjalar dalam tubunya.

"Terima penawaran itu," ucap Aryn dengan nada persis seperti Papa.

"Apa?!"

"Kenapa kau bertanya, jika sudah tau jawabannya. Ha?! Lakukan perubahan, terima tawaran mereka," suruh Aryn dengan nada penekanan yang setelahnya ia matikan ponsel itu.

"Boom! Perang sudah dimulai," ucap Aryn tersenyum licik.

"Aryn?" Panggilan Umi mengejutkan Aryn. "Umi mendengar ponsel berbunyi, itu punya kamu?"

"Mana mungkin, punya Aryn disita sama Papa. Agama ngajarin buat husnudzon. Kenapa Umi suudzon sama orang," celetuk Aryn.

"Astaghfirullah, maaf, Umi hanya bertanya saja. Oh ya, ini bandrek untuk kamu."

*****

Air mengalir pada pipi Aryn. Duduk di belakang rumah kyai sangat menyejukkan. Apalagi senja mulai tampak pada langit yang mulai memerah. Suara sengugukan Aryn terdengar lemah sembari terduduk pada tanah yang basah. Rasa bersalah mulai memenuhi jiwanya membuat rasa tak nyaman itu datang. Hal itu setimpal bukan, untuk Papanya?

"Arghhh ...," teriak Aryn.

Setelahnya ia berdiri sambil mengusap pipinya yang basah. Dan melangkah pergi menuju taman. Disana Umi sedang menyiram tanaman.

"Umi, Aryn mau membantu," ucap Aryn.

"Alhamdulillah. Baik nak. Ini," ucap Umi tersenyum.

Kemudian Aryn menerima pipa panjang dan mulai menyiram bunga sembari tersenyum. Sementara Umi, ia pamit sebentar untuk ke dapur. Ketika sedang menyiram bunga, penglihatan Aryn melihat ke atas langit. Senja itu sangat indah.

"Ya ampun, baju aku basah," keluh seorang pria membuat Aryn menoleh ke arah pria itu.

"Huwa...maaf aku nggak lihat," ucap Aryn terkejut.

Permainan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang