Chapter 3

14 2 0
                                    

Kini tiada lagi doa yang mengudara tepat pada sasaran tanpa meleset sedikit pun. Mama yang mendoakan anaknya dengan sepenuh jiwa hanya tinggal kenangan. Gemuruh tangisan menguasai ruang alam pada pusara Mama. Meringkuk, meminta pada tuhan  agar sang Mama diberi kesempatan untuk kedua kalinya menghirup napas pada dunia yang penuh dengan hiruk pikuk manusia penuh dosa.

Mencakar tanah layaknya kucing bermaksud membangunkan sang Mama nyatanya gagal dan percuma. Itu sia-sia! Semua masalah timbul karena gadis yang harus menerima takdir bahwa dirinya gila. Jika seorang Mama tiada siapa yang akan mendoakan kesembuhan Aryn.

“Mama bangunlah! Aryn kesepian…, Mama jahat telah meninggalkan Aryn. Mama bangun dan katakan pada dunia kalau kematian Mama bukan karena Aryn melainkan takdir. Bangunlah! Jika tidak Aryn akan merusak pusara Mama. Bangun!” teriak histeris Aryn. “Baiklah Mama tidak mau bangun, biar Aryn yang bangunin Mama! Arghhh!”

Dengan brutal dan tidak berakal Aryn mengacak-ngacak pusara Mamanya menjadi berantakan. Batu nisan yang bertengger pada tanah ia cabut paksa dan membuangnya ke segala arah. Kelopak bunga yang bertebaran pada tanah sudah terhempas bebas bahkan tanah pusara Mamanya ia gali tanpa bantuan alat melainkan hanya dengan kedua tangan mungilnya.

“Bangun! Aryn bilang bangun! Mama paham nggak sih, apa kata Aryn, ha!” Aryn berteriak sembari menangis.

Tubuhnya gontai membuat ia terduduk pada tanah yang masih basah. Bodohnya Aryn membuat sang Mama semakin sedih diatas sana. Kini, ia tidak tahu harus berbuat apa lagi. Hanya mampu meringkuk sembari menanti sesuatu yang tak pasti.

******
Sudah masuk pada hari keempat setelah kematian sang istri, Rizan dibuat semakin sesak napasnya sebab sang putri satu-satunya melarikan diri dari rumah. Selama empat hari itu juga, Rizan selalu mencari keberadaan sang putri. Pilunya hati jika mengatakan Aryn adalah pelaku pembunuhan terhadap istri sekaligus Mama dari Aryn. Siapa yang tidak akan pilu Papa yang menyayangi anaknya dengan sepenuh hati tapi sebab kehendak semesta mengharuskannya untuk menuduh sang anak.

Rizan telah putus asa. Ia membanting stir mobil dengan keras. Ia putar haluan menuju pemakaman sang istri. Tidak berapa lama ia telah sampai dan segera turun dari mobil diikuti beberapa bodyguardnya dari belakang.

Dengan langkah kaki yang lebar Rizan menyusuri setapak jalan yang pinggiran jalan ditumbuhi rerumputan pendek. Berbelok ke  arah kiri dan berjalan melalui celah-celah gundukan tanah. Netranya menyapu luas pada lingkungan pemakaman. Ia menghentikan kakinya, dan membuka kaca mata hitamnya.

Perlahan tapi pasti pandangannya semakin jelas. Ia malanjutkan perjalanannya dan benar saja netranya disuguhkan oleh seorang gadis meringkuk sembari berbaring di atas tanah. Betapa terkejutnya lagi bahwa keadaan kuburan sang istri hancur berantakan.

“Anak biadab!” ucapnya geram. “Angkat Aryn, masukkan ke dalam mobil,” perintah Rizan.

Para bodyguard mengangkat tubuh gadis itu perlahan agar tidak bangun. Mereka membalikkan badan menuju mobil.

*****
“Lepasin aku!” teriak Aryn.

Ketika telah sadar ia terheran-heran sebab dirinya di dudukkan pada kursi dengan kedua kaki dan tangan diikat dengan tali. Setelah bangun dari tidur ia terus memberontak membuat kaki dan tangannya terluka.

“Anak durhaka! Setelah membunuh Mamamu, kau masih nggak puas, hah!” bentak Rizan sembari menampar pipi Aryn kuat.

Aryn meringis kesakitan. Ia menyibakkan rambut yang terurai panjang. “Bukan aku yang bunuh Mama, bukan aku!”

Plakkk

Tamparan kedua mendarat kembali pada pipi Aryn di tempat yang sama. “Haaaaa, bukan aku!” teriak Aryn sembari menangis.

Permainan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang