Chapter 17

5 1 0
                                    


Cuaca hari ini cukup cerah, benar layaknya yang dikatakan pembawa acara di salah satu stasiun televisi yang disaksikan oleh manusia bertubuh tegap dengan bahu bersandar pada meja kebesarannya.

Jas hitam kebanggan pria setengah baya itu sudah teronggok di sofa samping ruangan serba putih itu.

Hingga ketukan pintu dengan sapaan izin masuk terdengar dari salah satu tamu yang akan datang. Pria tersebut pun mengizinkan masuk dengan satu kata dingin.

"Selamat pagi, Tuan," sapa salah satu pria yang berdiri di depan meja, tak dipersilahkan duduk oleh pemilik ruangan.

Jangan harap balasan sapaan tersebut, sebab pria yang tengah disapa itu tidak membutuhkan lontaran basa-basi di tengah kekalutannya.

"Tuan, pemuda tersebut belum kami temukan," ucapnya kemudian sembari menunduk takut.

"Tapi ...,"

"Keluar …," ucapnya dingin.

"Tapi kam--,"

"Keluar bodoh!!! Saya tidak butuh laporan sialan itu!!" teriaknya marah dengan melayangkan tatapan muak pada lawan bicaranya.

"Kami mo--"

"KELUAR!!!"

"Baik, permisi tuan," jawab beberapa pria dengan setelan hitam itu meninggalkan tuannya yang didekap kemarahan.

"Awas saja kamu bocah sialan, berani kamu berbuat ulah pada putri saya," monolognya terdengar berbisik namun sangat tajam.

•••••

"Apa!? Jadi sekarang lo buronan, nih?"

"Yah, gitulah. Untung aja gue ga bisa kabur dari mereka. Dan itu berkat lo, Lex," jawab Ribal menepuk pundak Alex, salah satu teman nongkrongnya.

"Yaila, santai lah kalo sama gue. Eh, tapi abis ini lo kudu bener-bener pergi deh. Gak maksud ngusir sih, tapi lo tau kan gimana bokap gue? Bentar lagi tuan brengsek itu balik," ujarnya sambil memutar bola mata, terlihat kesal setelah membicarakan ayahnya sendiri.

"Hahaha, bokap lo tuh kapan warasnya sih?"

"Halah ngatain orang ga waras, kalian aja yang ga waras kali!" sahut suara terdengar mengejek pada dua pemuda yang asik mengobrol sedari tadi.

"Eh, anjing satu ini siapa suruh ke rumah gue?" tanya Alex menaikkan kedua alisnya.

"Gue juga gak sudi masuk rumah tuan brengsek ini asal lo tau. Ini tuan brengsek nomor dua nyuruh gue nganterin motornya," jawab Adim, pemuda yang baru saja masuk tersebut.

"Dasar mulut cewe Lo berdua. Ya udah, gue pamit, Lex. Dan, makasih."

"Yoi, santai lah."

"Eh, bocah tolol siapa nyuruh ambil minum?" sambung Alex melirik pada Adim.

"Dih, keturunan tuan brengsek ini pelit juga ternyata. Inget ya, tamu adalah raja," sahutnya angkuh dan menyusul Ribal meninggalkan rumah Alex.

"Dasar gak tau malu! Woii!!"

•••••

Jika orang-orang yang sebelumnya ia temui bersuka cita sebab anaknya telah dinyatakan sembuh dari penyakit jantung, maka lain halnya dengan Umi yang tengah menatap sedih pada Aryn di ranjang rumah sakit dengan memegang Al-Qur'an ukuran kecil di tangan kanannya.

Benar saja, Umi baru selesai setelah banyak membaca ayat suci tersebut, bermaksud agar jiwa Aryn bisa tenang dan sadar dari tidurnya yang sudah cukup lama.

"Nak, kamu tidak rindu apa pada temanmu di pesantren?"

"Maiza sama Dira sudah rindu, nak. Jika tidak pada dirimu sendiri, tolong sadar untuk sahabatmu itu,"

"Kita balik lagi ke pesantren ya, nak. Secepatnya setelah kamu sadar dan pulih, Umi mohon ...," ujar Umi terdengar sangat lirih.

"Umi, istirahat dulu ya. Biar Gibran yang gantian jagain Aryn. Umi tiduran aja dulu," sahut Gibran di ambang pintu.

"Tapi, nak ...,"

"Umi juga butuh istirahat. Gibran mohon, Umi tiduran dulu ya. Sudah dimakan kan tadi baksonya?"

"Iya, terima kasih ya, nak."

"Alhamdulillah, itu udah kewajiban Gibran, Umi. Tidak perlu berterima kasih."

•••••

"Dir, kasian ya Aryn. Kenapa sih, ujian gak ada habisnya nimpa Aryn. Kayak dia tuh ga lengkap tanpa masalah gitu. Iya kan, Dir?" ujar Maiza terlihat murung dan meminta pendapat Dira.

"Sembarangan ngomongnya ini Maisaroh. Eh, tapi bener juga sih."

"Kannn, pasti capek banget jadi Aryn. Bener sih papanya kaya, tapi ya masa iya katanya dia gak pernah jenguk Aryn di rumah sakit. Bayangin aja, dia anak tunggal, udah gitu cewek lagi. Denger-denger sih katanya Aryn nih kepaksa gitu dulu pas masuk pesantren, tega bener ini papa Aryn. Kalo aja aku jadi si Aryn pasti aku udah kabur duluan, ishhh!"

"Sttttt ... Maiza ...,"

"Pokonya nih ya, aku bakal lebih parah dari tingkah Aryn. Yakali maksa-maksa kayak orang Belanda waktu jajah Indonesia, bukan jamannya kan sekarang? Kesel banget, masih ada orang kayak gitu, huh!"

"Maizaaaaaa ...," bisik Dira menarik halus lengan baju Maiza.

"Kenapa sih Dira ..., kamu kebel--- loh om siapa?" jawab Maiza kaget karena ternyata sedari tadi ada beberapa orang dibelakangnya dan dia tidak menyadari itu.

"Saya papanya Aryn. Kalian, bereskan barang-barang Aryn sekarang juga."

"Baik, Tuan."

•••••
"Hah? Oh jadi itu alasannya kenapa barang-barang Aryn dijemput ...."

"Hah?! Apa?! Dia mau dipindahin ke luar negeri?! Demi apa gak lo!!"

Permainan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang