Chapter 14

5 2 0
                                    

Deretan gigi putih menampilkan pesonanya hingga orang-orang yang dilaluinya berdecak kagum. Cantik dan mempesona. Pemilik gigi putih dan juga senyum yang indah itu adalah Aryn. Tidak seperti hari-hari sebelumnya yang dilalui dengan wajah masam, hari ini rona wajahnya terlalu jelas terlihat. Bahagia? Pastinya. Bagaimana tidak bahagia sebab kemarin Ribal berjanji akan membawa Aryn pergi dari pesantren ini.

Hari ini Aryn sangat berbeda. Dari fajar mulai terbit, ia selalu saja menawarkan diri untuk membantu orang lain dan mengerjakan segala kewajibannya dengan senang hati. Seperti sekarang ini, ia sedang berada di dapur bersama Meiza. Mereka berdua dan beberapa santri lain sedang memasak untuk seluruh santriwati yang ada di pesantren itu.

Rintik-rintik air membasahi wajah Aryn. “Kapan nih siapnya. Masa’ tugas gue cuman motongin bawang. Aish,” keluh Aryn sesekali menarik ingusnya yang mulai meler. “Bawangnya banyak banget sih!” gerutu Aryn lagi. Maklum bawang yang harus dirajang banyak, sebab makanan ini untuk seluruh santriwati. Ada sekitar dua baskom berisi bawang merah yang masih harus Aryn selesaikan.

Sementara Maiza yang sedang menggoreng ikan tertawa melihat Aryn yang sepertinya tidak terbiasa bersua dengan dapur. Hingga beberapa menit kemudian mereka selesai memasak. Aryn langsung keluar dari dapur dan mengelilingi pesantren dengan tujuan mencari seseorang yang dapat dibantu. Kebetulan hari ini adalah hari jumat. Hari dimana pesantren itu libur dan membebaskan para santri untuk beristirahat.

“Astaga! Lo apain tu burung. Ha!” teriak Aryn heboh berlari ke arah pohon rindang yang di bawahnya terdapat kursi panjang yang dikelilingi oleh bunga-bunga indah beraneka warna.

Gibran yang merasa terpanggil menoleh ke belakang. Ia melihat Aryn kocar-kacir berlari ke arahnya.

“Assalamu'alaikum,” sapa Gibran dengan senyumnya yang membuat orang lain bisa candu kecuali Aryn.

Aryn berdecak. “Wa'alaikumussalam. Ngasian banget burungnya. Lo emang ya, nggak berperikehewanan. Sini, aku tuh calon dokter. Jadi gampang ngobatin kek gini,” ujar Aryn sembari merebut burung kecil yang sayap kirinya terluka dari tangan Gibran.

Gibran tersenyum melihat Aryn yang sedang mengoleskan obat merah di sayap burung itu. “Obatin hewan bisa. Tapi obatin diri sendiri nggak bisa,” gumam Gibran masih terdengar oleh Aryn.

Aryn menoleh ke kiri. Ia menggigit bibir dalamnya. “L-lo ngomong apa? Lo tau gue sakit? Hahaha. Ya kali gue sakit. Gue baik-baik aja kok. Heheheh,” ucap Aryn sembari tertawa dengan tangan masih melakukan pengobatan pada burung kecil itu. Ia meletakkan burung itu di tanah.

Aryn bangkit sembari menyatukan kedua telapak tangan lalu mengibasnya. “Dah siap. Gue berbakat dan gue tau itu,” ucapnya bangga.
Aryn melangkahkan kaki namun terhenti oleh panggilan Gibran. “Tunggu.”

Aryn menoleh. “Apa?”

Gibran memasukkan burung itu ke dalam sarang lalu bangkit berdiri di hadapan Aryn. “Biar ilmu kamu ingin berkah, hormati guru kamu,” ucap Gibran datar.

Aryn diam. Detik berikutnya ia membalikkan badan sembari tangan yang mengayun. “Bye bye!” teriak Aryn sembari tertawa.

Di depan sana Aryn melihat seorang perempuan yang kemarin ikut menolongnya juga sedang berbicara kepada Umi.

Aryn menyembunyikan diri di balik tembok menguping pembicaraan mereka.

“Umi, stok bahan dapur menipis. Gimana kalau Aisyah bantu belikan. Kebetulan hari ini kan libur,” ujar Aisyah menawarkan diri.

Umi tersenyum lebar. Kalau yang Aryn lihat dari balik tembok sepertinya Aisyah sedang mencari perhatian Umi.

“Memangnya Aisyah nggak sibuk? Umi nggak mau repotin kamu. Lagi pun ada Bi’ Ica. Udah kamu jangan kemana-mana ya,” ujar Umi.

Permainan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang