"Sudah menjadi keharusan bagi setiap umat muslim itu mengimani dan percaya akan adanya akhir zaman. Telah terukirkan dalam Al-Qur'an bahwa akhir zaman benar adanya. Tidak ditentukan kapan waktunya namun telah ditetapkan bahwa dunia akan dilanda kehancuran yang tak akan mampu seorang pun bersembunyi dari hal itu. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita untuk meningkatkan amal ibadah kita, untuk mempersiapkan kehidupan di masa depan kelak. Nggak hanya itu, agar selamat dari bencana akhir zaman perbanyaklah zikir.
Hanya karena zikir, hati menjadi tenteram, mendatangkan ketenangan jiwa, ditinggikan derajatnya oleh Allah, dan menggugurkan dosa. Jadi, para santriwati, jangan sibuk memoles bibir pakai gincu merah-merah kaya cabe. Tapi sibuklah membasahi bibir dengan lantunan zikir. Gimana semuanya paham?" tanya Gibran sedang berdiri sembari mengajar tentang ilmu agama. Hari ini ia berkesempatan hadir untuk mengajar di kelas Fatimah. Yang dimana kelas Fatimah itu terdapat Aryn disana.Maiza berdiri sontak membuat santriwati menatap ke arahnya. "Ustadz, saya selalu paham sama ucapan ustadz. Nggak tau kenapa, setiap ucapan ustadz itu ngalir ..., gitu. Menelusuri peredaran darah saya tadz. Sampai tubuh saya rasanya ingin gimana ya, aaa, pokoknya gitu deh," ujar Maiza mendramatisir keadaan.
Gibran adalah ustadz termuda yang mengajar di pesantren milik Abinya. Umur yang baru beranjak 20 tahun membuat pancaran sinar di wajahnya bersinar terang layaknya seorang bintang di kalangan para santriwati.
"Ada yang mau bertanya?" tanya Gibran membuat seluruh santriwati di kelas Fatimah itu, mengacungkan tangannya kecuali Aryn yang sedang duduk di ujung sebelah kiri.
Gibran tersenyum. "Sepertinya Aryn sudah paham betul dengan kajian yang baru saja saya ajarkan. Kalau gitu, coba ulang dengan baik dan benar," ujar Gibran.
Tangan Aryn tergelincir dari meja karena sedari tadi ia bertopang dagu. "Gue? Kenapa harus gue?" tanya Aryn takut sebab ia belum mengerti hal sedikit pun.
"Karena saya rasa kami sudah paham," ujar Gibran masih berdiri di depan papan tulis.
"Seorang guru yang pintar, adalah guru yang tahu, apakah muridnya paham apa nggak! Coba lo liat wajah gue. Kelihatan paham nggak?!" bentak Aryn membuat seluruh santriwati miris dan marah melihatnya. Seantero pesantren apalagi santriwati nya sangat mendamba Gibran. Namun sikap yang Aryn tunjukkan membuat para santriwati marah.
"Sopan dikit kamu sama ustadz. Nggak ada akal ni cewek. Dari kemarin buat rusuh aja," ketus salah satu santriwati.
"Kok lo pulak yang sewot! Lo suka sama tu guru. Iya?!" tanya Aryn dengan nada tinggi.
"A-aku, suka? I-ya nggaklah. Ustadz kan, guru aku. Maaf ustadz ada salah paham disini," ujarnya malu-malu. Padahal santriwati memang memiliki rasa kepada Gibran.
"Bacot Lo!" bentak Aryn.
Gibran mengelus dadanya sembari beristighfar. Sebelumnya tidak pernah Gibran menemukan model murid seperti Aryn.
"Pembelajaran kita akhiri sampai disini. Dan kamu ikut saya ke BK," ujar Gibran sembari pergi dari ruangan belajar. Setelah mengucapkan salam.
****
Ponsel Aryn bergetar. Ia raih ponsel itu dan melihat nama yang terpampang pada layar ponsel.
"Ribal!" pekik Aryn kegirangan sambil meloncat-loncat karena bahagia. Detik berikutnya ia membekap mulut dengan tangannya.
"Halo Ri—"
"Gimana keadaannmu?"
Aryn menjauhkan ponselnya dari telinga. Ia meloncat bahagia karena tidak ada angin tidak ada hujan, Ribal menjadi perhatian kepadanya.
"Jawab gue!" bentak Ribal dari ujung sana
Aryn tersadar dan mendekatkan ponsel ke telinganya. "Gue belum pulih. Tapi orang yang ada di pesantren ini memaksaku untuk terus belajar. Gue nggak sanggup. Rasanya gue ingin mati," ujarnya dengan nada dramatis berharap Ribal prihatin kepadanya.
Aryn dapat mendengar hembusan kasar napas Ribal disana. "Gue bakal bebasin lo dari sana. Tunggu gue. Ngerti?"
"Seriusan?" tanya Aryn tidak percaya.
Setelah ponselnya mati, Aryn menepuk berulang kali pipinya. "Astaga!" teriak Aryn bahagia.
****
"Maaf pak," ujar Aryn sambil menunduk.
Gibran membuang napas perlahan. Ia sudah tahu jika Aryn mengidap penyakit bipolar. Lantas haruskah hal tadi diberi toleransi? Mungkin iya, untuk sekali saja.
"Kamu nggak paham di bagian mananya?" tanya Gibran khas dengan suara lembutnya.
Aryn mendongakkan wajah tidak percaya jika Gibran tidak jadi marah. "Bapak kenapa nggak marah?" tanya Aryn kikuk.
Gibran tersenyum. Dalam hati, Aryn terpesona dengan senyuman Gibran.
"Untuk apa? Bisa-bisa kegantengan saya luntur lagi. Oh ya, jawab pertanyaan saya. Kamu ada yang nggak paham?"
Aryn mengangguk. "Anu, sebenarnya aku nggak tahu, zikir itu gimana," ujar Aryn gerogi dengan sesekali menatap netra Gibran yang sangat meneduhkan.
Gibran tersenyum dan mulai merapalkan zikir dengan perlahan.
"Oo zikir kaya' gitu. Paham deh aku," jawabnya benar-benar paham.
Gibran merogoh saku celananya dan meletakkan benda di atas meja. "Ini, adalah tasbih favorit saya. Hadiah dari guru saya di Turki. Ini saya kasih ke kamu, semoga hatimu selalu tenang tatkala ingat kepada-Nya," ujar Gibran memberikan tasbih kepada Aryn.
"Untukku?" tanya Aryn tidak percaya. Rasanya campur aduk. Bahkan Aryn sendiri tidak bisa memahami perasaannya. Ada sedih dan bahagia disana.
*****
"Lo mau khianati Ria? Iya?!!!" bentak Leo sahabat Ribal.
Ribal berdecak sebal. "Leo, sejak kapan sih gue berkhianat? Uhm! Bukannya lo udah tau sifat gue kaya' gimana ha?! Nggak ada di kamus hidup gue itu untuk setia sama satu cewek. Dan alasan gue putusin Aryn karena dia jatuh miskin dan kaya' orang gila. Najis banget gue punya pacar kaya' gitu."
"Terus, kenapa lo suruh Aryn balik lagi. Mau dikemanain Ria?" tanya Leo frustasi.
"Ria dah miskin. Lagi pula gue udah puas mainin Ria. Puas gue ngerusak cewek itu. Dan, dengar-dengar, katanya Aryn itu masih kaya. Apalagi kan? Poroti plus rusakin. Mantap nggak tuh," ujar Ribal sembari tertawa bahagia.
![](https://img.wattpad.com/cover/238726202-288-k402261.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Permainan Takdir
Spiritual•A Story By: Imam Ghazali (kelompok 3 genre religi Teras Pena Squad) •genre: Religi •Blurb : Zaskia Aryne. Gadis cantik yang menderita mental illness yang terpaksa masuk ke pesantren di mana ia harus kehilangan kekasihnya. Aryn selalu dikuasai oleh...