Di dalam kegelapan malam, gadis itu berjalan hanya bertemankan bayangan hitam dan rentetan pikiran yang bercabang. Setelah berhasil mengelabui petugas keamanan pesantren akhirnya Aryn bisa membebaskan diri dari penjara suci itu. Kini langkahnya menuju rumah seseorang yang selama ini ia cintai. Bermodalkan nekat tanpa uang menjadikan Aryn harus menempuh perjalanan kaki dari pedesaan ke pusat kota.
Kini dia telah sampai di pekarangan rumah Ribal, kekasih tercintanya. Eitss, mantannya. Rumah yang terpancarkan oleh sinar rembulan malam membuat rumah itu sedikit menakutkan. Diliriknya arloji biru yang terletak di tangan sebelah kiri Aryn menunjukkan pukul 2 dini hari. Aryn pun tidak tahu harus berbuat apa setelah ini. Seluruh lampu padam. Bahkan Aryn mengintip jendela kamar Ribal yang gelap dan sesekali mengetuknya. Namun tetap saja, Ribal terlalu lelap dalam tidurnya.
Alhasil Aryn memutuskan untuk tidur di depan pintu rumah Ribal. Dinginnya malam menyapa lembut kulit Aryn, membuat dirinya sesekali menggigil.
*****
Ketika pagi menjelang kedua sahabat Aryn mencoba membangunkannya. Namun ketika dibuka, hanya terdapat guling yang ditutupi oleh selimut tebal."Dimana Aryn?" tanya Dira dengan nada satu oktaf.
"Aku juga tidak tahu," jawab Maiza tidak kalah cemas.
Ketika percakapan yang berselimutkan kekhawatiran itu terjadi, pintu kamar mereka diketuk oleh seseorang yang tidak tahu siapa. Dira dan Maiza saling tolak menolak tidak ingin membuka pintunya takut jika ada seseorang yang bertanya tentang Aryn.
"Udah kamu aja yang buka. Ya," usul Maiza mendorong tubuh Dira untuk membuka pintu.
Benar dugaan mereka. Pintu itu diketuk oleh salah satu santri yang menanyakan dimana keberadaan Aryn.
"Uhm, sebenarnya, Aryn itu, uhm," ucap Dira bingung.
"Itu apa! Cepat katakan," ucap santri perempuan itu sedikit membentak.
"Aku nggak tahu kemana," ucap Dira dengan nada cepat.
Santri perempuan itu langsung pergi dari hadapan Dira. Dira kembali menutup pintu kamarnya dan mendekati Maiza.
"Za, gimana ini?" tanya Dira khawatir.
*****
Sehabis mengajar Gibran menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumahnya. Dilihatnya Umi duduk di kursi dengan wajah cemas.
"Assalamualaikum. Umi kenapa?" tanya Gibran duduk di sebelah Uminya.
Umi memegang telapak tangan Gibran dengan raut wajah yang sangat sulit untuk diartikan bagi Gibran.
"Gibran, Umi khawatir sekali. Salah satu santri perempuan di pesantren ini hilang gak tahu kemana," ujar Umi semakin mempererat genggamannya dengan Gibran.
"Siapa Umi? Mana tahu Gibran tahu dan mencarinya," jawab Gibran.
"Aryn," ucapan Umi terpotong tatkala suara ponsel milik Gibran berdering.
Umi menyuruh Gibran untuk mengangkat ponselnya. Tertera nama Aisyah disana. Gibran bergumam kecil mengucapkan istighfar. Ia lupa jika harus menjemput Aisyah dari Kairo.
"Kamu tidak usah mencari Aryn. Jemputlah Aisyah. Ya," pinta Umi.
"Tidak Umi. Gibran tidak mungkin menjemputnya sendiri. Lagi pula Aryn lebih penting. Aisyah bisa pulang sendiri," getir Gibran berusaha menolak halus untuk menjemput Aisyah. Aisyah adalah anak dari sahabat Abinya Gibran yang akan dijodohkan dengan Gibran.
"Disini banyak yang mencarinya nak, jemputlah Aisyah," pinta Umi.
Mau tidak mau akhirnya Gibran mengikuti saran Umi untuk menjemput Aisyah.
****
Krek ... Krek ...
Pintu rumah itu hendak ia buka. Namun perempuan yang merupakan Mama Ribal merasa ada kejanggalan tatkala melihat seorang perempuan berhijab putih tertidur meringkuk di depan rumahnya.
"Hei, bangun. Kamu siapa? Ribal ...," panggil Mamanya Ribal sembari berteriak.
Ribal pun berjalan mendekati Mamanya. Ribal langsung tahu alasan Mamanya memanggil dirinya. Dengan hati-hati Ribal memeriksa perempuan itu dengan membalikkan tubuh perempuan itu. Alangkah terkejutnya dia tatkala wajah Aryn yang ia temukan.
Aryn mengerjapkan matanya. Menggeliat di lantai yang dingin.
"Heh! Bangun!" bentak Mamanya Ribal.
Mata Aryn terbuka. "Ri-Ribal, aku dari tadi malam menunggumu. Aa, Tante maafkan aku. Kenalin aku Aryn pacarnya Ribal," ucap Aryn sembari bangkit dari duduknya sembari menjulurkan tangan hendak menyalami Mamanya Ribal.
Mamanya Ribal menepis tangan Aryn. "Kamu siapa sih! Ntahlah, kamu urus ya gelandangan ini Bal. Mama mau kerja," ucap Mamanya Ribal sembako berlalu pergi.
"Pergilah!" bentak Ribal.
"Ribal, aku masih sayang sama kamu. Setiap hari aku selalu memikirkanmu. Kita balikan ya, aku nggak mau putus. Ribal aku mohon," ucap Aryn mengikuti langkah Ribal yang sedang menuju garasi.
Ribal mulai menaiki mobil sportnya bergegas untuk pergi. Aryn memegang tangan Ribal berusaha untuk mencegah Ribal untuk pergi ke sekolah.
"Lepasin Ryn, aku nggak suka lagi sama kamu. Lagi pun siapa sih yang mau pacaran sama perempuan gila kayak mau," ucap Ribal mulai bersiap untuk menancap gas sepeda motornya.
Aryn mencegah Ribal dengan menarik-narik tangan Ribal. Karena sebal, Ribal mendorong tubuh Aryn hingga perempuan itu terjatuh.
"Ribal! Jangan pergi," teriak Aryn sembari mengejar sepeda motor Ribal.
Hingga tanpa disadari Aryn tengah berada di tengah jalan raya. Beberapa detik kemudian tubuh Aryn terpelanting jauh akibat mobil yang melaju kencang menabrak tubuh Aryn.
Decitan suara yang ditimbulkan Ribal karena menginjak rem dengan spontan membuat deru napasnya mencekat. Dari pantulan spion ia melihat Aryn terbaring bersimbah darah di tengah jalan.
Ribal memutar balikkan sepeda motornya hendak menolong Aryn.Namun niat itu harus terutungkan tatkala netranya menangkap seorang pria dewasa turun dari mobil disusul dengan perempuan berpakaian syar'i yang ikut turun dari mobil.
Lelaki itu berteriak menyebut nama Aryn membuat Ribal bertanya-tanya siapa laki-laki itu.
"Aryn, ini kamu kan? Aryn bangunlah," ucap Gibran sangat khawatir melihat darah terus bercucuran di kepala Aryn.
"Aryn bangunlah!" ucap Gibran histeris.
KAMU SEDANG MEMBACA
Permainan Takdir
روحانيات•A Story By: Imam Ghazali (kelompok 3 genre religi Teras Pena Squad) •genre: Religi •Blurb : Zaskia Aryne. Gadis cantik yang menderita mental illness yang terpaksa masuk ke pesantren di mana ia harus kehilangan kekasihnya. Aryn selalu dikuasai oleh...