Chapter 10

6 2 0
                                        


Pria yang mengenakan celana kain berwarna hitam itu terus saja memanjatkan doa di dalam hatinya. Hirau akan suhu dingin di sekitar sebab hari sudah mulai gelap, ia juga tak henti-hentinya mengetukkan kaki kanannya pada lantai rumah sakit. Ketara jika dia sedang sangat khawatir.

"Gus, lebih baik kita pulang dulu ya. Bersih-bersih dulu habis itu ke sini lagi, kamu kelihatan lelah sekali," ujar perempuan yang duduk tak jauh dari posisi Gibran.

"Dan membiarkan Aryn sendirian? Bagaimana kalau dia sadar?" jawab Gibran masih saja mengetukkan kaki kanannya.

"Gus kan sudah menghubungi Umi. Sebentar lagi insya Allah beliau akan tiba."

Jeda terjadi beberapa saat, Aisyah mengira kalau laki-laki yang ia panggil 'Gus' itu akan menuruti sarannya.

"Ning, kalau kamu memang mau pulang, sehabis ini biar Mang Koko yang anterin. Balik rumah sama Umi. Maaf, saya gak bisa biarin Aryn sendirian di sini," putus Gibran kemudian, enggan di bantah.

•••••

"Eh, bangke. Lu kenapa sih, berhenti atau gue seret ke jalanan!"

"Gua jahat banget, Nik," ujarnya terus saja menuangkan air haram itu pada gelas di depannya.

"Itu mulu dari tadi ga jelas banget lu bangsat. Pasti lu udah bener-bener KO deh. Pulang yok, gue anterin."

Kemudian pria berjaket jeans itu mulai memapah Ribal berdiri dari tempatnya. Ya, laki-laki yang sudah mabuk berat itu Ribal. Ia terlihat acak-acakan dan tak sadarkan diri saat mobil sport Niko membelah jalanan yang sudah sepi.

•••••

"Sumpah gue bener-bener khawatir sama Aryn. Dia kabur ke mana sih ampe malem gini belum balik-balik," ucap Dira selepas melaksanakan shalat isya' berjamaah.

"Iya, ih. Yang nyariin juga ga pada jago, masa udah mau sehari gini belum ketemu juga. Atau emang Aryn aja ya yang pinter kaburnya," seru Maiza mengetukkan jari telunjuk di dagu lancipnya.

"Emang sembarangan bener ini Maisaroh. Mulutnya ga ngotak," gerutu Dira tanpa diketahui Maiza.

Tentu saja, panjang nanti urusannya kalau Dira kebelet tengah malam, Maiza akan ngambek dan pura-pura tuli saat ia minta antar toilet.

"Eh, kalian udah tau belum? Si Aryn udah ketemu," ucap Shopia entah datang darimana.

"Demi apa?!"

"Hah, yang bener?"

"Tapi ...."

Shopia terdengar tidak yakin akan memberitahukan pesan yang ia dapat setelah urusannya di rumah Umi.

"Tapi, apa?"

"Iya, ih. Terusin dong, Phia."

"Aryn ..., dia ...."

"Ngomong atau gue timpuk pake sendal!!" ancam Dira dengan tangan bertengger di kaki kirinya.

"Tapi janji kalian ga bakal sebarin kabar ini, soalnya-"

"Bacot lu, cepetan elah!"

"Iya, ih, Phia."

"Sebenernya, Aryn emang udah ketemu daritadi pagi. Tapi dalam keadaan yang tidak baik-baik aja. Dia kecelakaan, dan alhamdulillahnya udah dilarikan ke rumah sakit sama Gus Gibran."

"Terus sekarang gimana keadaannya?"

"Kok bisa ada Gus Gibran?"

Lagi-lagi mereka -Dira dan Maiza- kompak bertanya.

"Pertanyaan Dira, gue ga tau pastinya gimana. Pertanyaan Maiza, Gus Gibran ada di TKP pas jemput Ning Aisyah tadi pagi."

•••••

"Zan, mama sekarang bener-bener khawatir sama Aryn. Perasaan mama ga enak, nak."

"Udahlah, itu perasaan mama saja mungkin. Tau sendiri sifat cucu mama itu, kalau tidak bikin rusuh, ya marah-marah tidak jelas."

"Tapi, zan ...,"

"Udah ya, mama jangan banyak kepikiran. Rizan ke atas dulu, banyak kerjaan."

"Kamu masih saja menyalahkan anakmu, Zan."

•••••

"Assalamualaikum. Gibran, bagaimana keadaan Aryn, nak?" tanya Umi yang baru tiba di rumah sakit.

"Wa'alaikumussalam Umi, Gibran juga kurang tau Umi. Sejak masuk kamar inap, Aryn belum juga sadarkan diri."

"Permisi, keluar pasien?" Tiba-tiba suara dokter menginterupsi.

"Kami walinya, Pak. Dia salah satu santriwati di pesantren saya," jawab Umi setegas mungkin.

"Baik kalau begitu, mari ikut ke ruangan saya."

Keduanya kemudian meninggalkan ruang tunggu, tanpa tau betapa inginnya laki-laki berpeci itu mendengar lebih cepat perihal keadaan gadis yang terbaring tak sadarkan diri di kamar inap.

Permainan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang